Marketing Strategic

Kamis, 06 Oktober 2011

PENGKAJIAN KONSEP ORIENTASI PASAR

DR. EDDI SUPRAYITNO
Dosen FE.UISU Medan


Abstract
Market orientation is an implementation of marketing concept. Despite market orientation concept can be approached through market driven and driving market approaches, the constructs develop the concepts still reflect the market driven. This article tries to sinergize market orientation concept (Kohli & Jaworski, 1990) to customer learning in order to make the operationalization more effective. Customer learning is synthesize result of market driven and driving market approaches, learning theory, and perception as precursor of behavior.

Key words: Market orientation, intelligence generation, intelligence dissemination, intelligence responsiveness, customer learning.

PENDAHULUAN
Pengertian pemasaran dapat dipandang sebagai falsafah, disiplin, dan keahlian. Sebagai falsafah, esensi pemasaran berwujud cita-cita, pernyataan kebijaksanaan, visi, orientasi, atau pedoman penggerak tindakan organisasi baik laba maupun nirlaba. Sebagai keahlian, pemasaran berwujud proses manajemen pemasaran yang bertujuan mengubah pemasaran dari tingkat falsafah menjadi terapan (Pawitra, 1993). Sebagian besar pengajaran dan literature pemasaran yang digunakan pada perguruan tinggi di Makassar mencurahkan perhatian pada konsep pemasaran sebagai fondasi dari disiplin pemasaran, tetapi sangat sedikit perhatian yang diberikan pada implementasinya.

Pengkajian terhadap sejumlah literature pemasaran menunjukkan variasi definisi yang berbeda mengenai konsep pemasaran. Dari berbagai konsep yang dikemukakan para guru pemasaran seperti Felton (1959, p.55), Mc. Namara (1972, p.51) qf Kohli & Jaworski (1990b), dan beberapa varian dari gagasan kedua guru tersebut seperti yang didefinisikan oleh Lavidge (1966), Levitt (1969), Konopa & Calabro (1971), Bell & Emory (1971), Stampf (1978) qf Kohli & Jaworski (1990b, p.5) sampai kepada pandangan yang relatif baru seperti Kotler (1994, p. 6; 2000, p.8;) dan Gummeson (1999, p. 1), pada intinya menunjukkan bahwa terdapat lima tema inti yang membentuk konsep pemasaran yaitu fokus pada pasar, orientasi pelanggan, pemasaran terkoordinasi, hubungan jangka panjang, dan profitabilitas.

Konsep pemasaran sebagai falsafah memiliki nilai praktis terbatas. Agar dapat bermanfaat dalam praktek, maka konsep pemasaran perlu dijembatani oleh suatu pengertian operasional (Barksdale & Darden, 1971 qf Kohli & Jaworski, 1990b). Pengertian operasional yang merupakan implementasi dari falsafah pemasaran adalah pelaksanaan orientasi pasar oleh manajemen perusahaan (Mc. Carthy & Perreault, 1990). Implementasi dari sebuah filosofi tercermin pada perilaku dan aktivitas perusahaan. Oleh karena orientasi pasar merupakan implementasi dari konsep pemasaran maka dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang berorientasi pasar adalah perusahaan yang tindakan-tindakannya konsisten dengan konsep pemasaran.

Konsisten dengan pemikiran tersebut mengimplikasikan bahwa tujuan orientasi pasar sama dengan tujuan pemasaran. Tujuan pemasaran adalah menghasilkan shareholder value melalui penyajian nilai unggul bagi pelanggan (Pawitra, 2001). Penalaran hirarki tujuan generik pemasaran diperkuat oleh sejumlah besar penelitian yang membuktikan adanya hubungan positif antara orientasi pasar dengan kinerja (antara lain Narver & Slater, 1990; Greenley, 1995; Kohli & Jaworski, 1990a; Bhuian & Sahid, 1997; Matsuno & Mentzer, 2000).

PENGERTIAN, KONSTRUK, DINAMIKA, dan BERBAGAI PERSPEKTIF KONSEP ORIENTASI PASAR

1. Pengertian dan Konstruk Orientasi Pasar
Meskipun terdapat berbagai pengertian yang dikembangkan mengenai orientasi pasar, tetapi empat orang yang memberikan kontribusi penting bagi pengembangan konsep tersebut adalah Kohli & Jaworski dan Narver & Slater. Menurut Kohli & Jaworski (1990a, p. 6) orientasi pasar adalah :

Organizationwide generation of market intelligence pertaining to current and future customer needs, dissemination of the intelligence across departments, and organizationwide responsiveness to it.

Definisi dari Kohli & Jaworski (1990a) diinspirasikan dari konsep pemasaran Felton (1959, p. 55). Konsep tersebut merupakan pandangan operasional terhadap dua dari lima tema inti pemasaran yang dijelaskan di atas yaitu fokus pada pelanggan dan pemasaran terkoordinasi. Barksdale & Draden (1971), Mc. Namara (1972) qf Grewal & Tansuhaj (2001), dan Pawitra (1993) menegaskan bahwa orientasi pasar merupakan implementasi dari konsep pemasaran.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka Kohli et al. (1993) mengembangkan pengukuran terhadap orientasi pasar yang dikenal dengan MARKOR (market orientation). Komponen utama MARKOR –sesuai definisi yang mendasarinya—terdiri dari intelligence generation, intelligence dissemination, dan intelligence responsiveness. Ketiga komponen tersebut diukur oleh 32 item pengukuran. MARKOR dikembangkan secara terus menerus, hingga pada tahun 2000 Matsuno et al. mengembangkan pengukuran tersebut menjadi 44 item pengukuran.

Adapun Narver & Slater (1990, p. 21) menyatakan bahwa orientasi pasar terdiri atas tiga komponen perilaku -- orientasi pelanggan, orientasi pesaing, dan koordinasi interfungsional – dan dua kriteria pengambilan keputusan --fokus jangka panjang dan kemampulabaan. Pengertian Narver & Slater (1990) konsisten dengan pengertian dari Kohli & Jaworski (1990a). Orientasi pelanggan dan pesaing meliputi seluruh aktivitas dalam upaya perolehan informasi mengenai pelanggan dan pesaing pada pasar sasaran. Selanjutnya informasi tersebut disosialisasikan ke seluruh organisasi. Koordinasi interfungsional berbasis pada informasi yang diperoleh dari pesaing dan pelanggan mencerminkan upaya terkoordinir dari seluruh organisasi untuk menyajikan nilai unggul bagi pelanggan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komponen perilaku pada pengertian Narver & Slater (1990) konsisten dengan pengertian orientasi pasar dari Kohli & Jaworski (1990a). Mavondo & Farell (2000) juga menyimpulkan bahwa terdapat kesamaan antara definisi orientasi pasar dari Kohli & Jaworski (1990a) dengan Narver & Slater (1990) yaitu : (a) keduanya menitik beratkan pada pelanggan pada fokus pada peran pelanggan dalam manifestasi orientasi pasar, (b) keduanya mengandung orientasi eksternal, (c) keduanya menyadari pentingnya respon pada tingkat organisasi, dan (d) disadari bahwa kepentingan stakeholder dan atau kekuatan lainnya membentuk keinginan dan ekspektasi pelanggan.

Pengukuran terhadap pengertian orientasi pasar berdasarkan definisi dari Narver & Slater (1990) adalah MKTOR (market orientation). Dimensi MKTOR terdiri atas 21 item pengukuran. Menurut Pelham (1993) qf Farrell & Oczkowski (1997), memiliki struktur yang lebih sederhana disbanding MARKOR.

2. Dinamika Perkembangan Konsep Orientasi Pasar
Penelitian mengenai orientasi pasar dilakukan secara terus menerus dari tahun ke tahun untuk mengembangkan elemen-elemen yang membentuknya, agar lebih baik dalam menjabarkan konsep pemasaran.
Sebagaimana ditunjukkan pada tabel, dari berbagai penelitian yang dilakukan untuk mengembangkan konsep orientasi pasar, kesemuanya berakar pada satu hal yang harus diperhatikan perusahaan yaitu mengidentifkasi dan menyajikan nilai unggul bagi pelanggan.

3. Berbagai Perspektif Terhadap Konsep Orientasi Pasar
Berbagai studi telah dilakukan untuk merumuskan orientasi pasar. Studi-studi tersebut telah menghasilkan berbagai definisi, cara pandang, dan elemen-elemen untuk membangun konstruk orientasi pasar. Dari hasil studi tersebut definisi orientasi pasar dapat disimpulkan sebagai berikut (Soehadi, 2001) :
a. Sebagai filosofi bisnis (Cespedes, 1990; Lichtental and Wilson, 1992; Hooley et. al., 1998).
b. Sebagai bentuk budaya dan sikap (Gounaris and Avlonitis, 1997; Day and Wensley, 1988; Verhees, 1998; Narver and Slater, 1990).
c. Sebagai keyakinan dan nilai dalam organisasi (Payne, 1988; Webster, 1988; Desphande et al., 1993).
d. Sebagai perilaku (Avlonitis and Gournaris, 1997; Langerak and Commandeur, 1998; Narver and Slater, 1990).
e. Sebagai aktivitas atau proses (Saphiro, 1988; Day, 1994; Hunt and Morgan, 1995; Cadogan et al.,1997; Kohli and Jaworski, 1990; Ruekert, 1992)

Studi selanjutnya mencoba menggunakan beberapa konsep yang berhubungan diantara konstruk-konstruk orientasi pasar, misalnya :
a. Pengolahan informasi pasar (Jaworski and Kohli, 1996; Tuominen and Moller, 1996).
b. Pembelajaran organisasi (Slater and Narver, 1995; Tuominen and Moller, 1996).
c. Kriteria pengambilan keputusan (Narver and Slater, 1990; Deng and Dart, 1994; Gray, Matear and Matheson, 1998).
d. Integrasi interfungsional (Shapiro, 1988; Narver and Slater, 1990; Cadogan and Diamontopoulos, 1995).
e. Orientasi Pemasok (Langgerak et al, 1997; Parkinson and Chambers, 1998) atau
f. Orientasi Kwalitas (Fritz, 1996; Parkinson and Chambers, 1998).

Dari berbagai definisi yang ada, pada intinya orientasi pasar dapat didekati dari dua sudut pandang yaitu sebagai nilai bersama dan budaya, dan sebagai perilaku yang diejawantahkan dari konsep pemasaran. Sebagai suatu budaya, orientasi pasar mengandung pedoman yang mengarahkan perilaku individu dalam organisasi. Day (1999) menyatakan budaya dan kapabilitas memiliki hubungan yang simbiotik. Kapabilitas merupakan sekumpulan keterampilan yang terintegrasi, teknologi, dan akumulasi pembelajaran yang dilatih melalui proses keorganisasian.

PERKEMBANGAN dari CUSTOMER DRIVEN, MARKET DRIVEN, dan DRIVING MARKET

Pada era 1960 sampai 1990, perusahaan berusaha untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen melalui pemahaman yang mendalam mengenai konsumen (Keegan,….). Karenanya perusahaan diharapkan untuk menjadi customer oriented atau customer driven. Namun, berorientasi hanya kepada konsumen saja belum cukup. Perusahaan seyogyanya memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen secara lebih baik daripada pesaingnya. Dengan dimasukkannya unsur pesaing mengimplikasikan perlunya orientasi pasar karena mencakup konsumen dan pesaing (Day, 1998; Cravens, 2000).

Jaworski et al. (2000) menyatakan bahwa ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk berorientasi pasar, yaitu pendekatan market driven dan pendekatan driving market. Market driven merujuk pada orientasi bisnis yang berdasarkan pada pemahaman dan reaksi terhadap pilihan-pilihan dan perilaku pemain di struktur pasar yang ada. Strategi tradisional berfokus pada konsumen dimana diasumsikan bahwa konsumen mengetahui apa yang mereka inginkan. Implikasi dari hal tersebut adalah the rules of the competitive game dibentuk oleh pembeli (Carpenters et al., 2001 qf Iacobucci, 2001). Sedangkan pendekatan driving market mengimplikasikan pengaruh terhadap struktur pasar dan atau perilaku pasar dengan tujuan meningkatkan posisi persaingan.

Market driving dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu dekonstruksi, konstruksi, dan modifikasi fungsional. Pendekatan dekonstruksi dilakukan dengan cara mengeliminir pemain pada pasar. Sebaliknya pendekatan konstruksi berupaya membangun atau memodifikasi pemain baru pada pasar. Pendekatan modifikasi fungsional meliputi perubahan fungsi yang ditunjukkan para pemain di pasar yang ada. Baik pendekatan market driven dan driving market, sama-sama berfokus pada konsumen, pesaing, dan kondisi pasar secara umum.

PEMBELAJARAN PELANGGAN SEBAGAI KOMPONEN SINERGIS YANG MEMBENTUK MARKOR PLUS

Meskipun diyakini bahwa orientasi pasar dapat meningkatkan kinerja, namun orientasi pasar masih memiliki beberapa kelemahan dalam prakteknya. Beberapa penelitian menunjukkan bahawa orientasi kepada pelanggan secara berlebihan dapat merusak organisasi (Bennet & Cooper, 1979; Frosch, 1996; Mac Donald, 1995; qf Grewal & Tansuhaj, 2001). Sebutlah misalnya Christensen & Bower (1996, p.198) menyimpulkan dari analisisnya pada industri hard disk drive bahwa “perusahaan tersebut kehilangan posisinya sebagai pemimpin industri… karena mereka terlalu mendengarkan pelanggannya.

Selain itu, masih terdapat beberapa kelemahan orientasi pasar untuk pencapaian tujuan organisasi melalui penyajian nilai unggul bagi pelanggan (SCV) dan penciptaan keunggulan berdaya saing berkelanjutan (SCA). Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain :
a. Pelanggan tidak selalu menyadari kebutuhannya, terutama kebutuhan di waktu yang akan datang sehingga perusahaan perlu mengarahkannya, sebelum perusahaan lain melakukannya. Gibson (1997) menyatakan bahwa perusahaan yang akan menjadi pemenang adalah mereka yang berada di depan kurva perubahan.
b. Meskipun kebutuhan tersebut dapat diidentifikasi oleh pelanggan, mereka sendiri tidak mampu menentukan cara terbaik untuk memenuhinya (Kaldor, 1971 qf Gabel, 1995). Dua kondisi diatas mengimplikasikan bahwa orientasi pelanggan tidak akan menghasilkan ssuatu inovasi yang mampu membedakan suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya, sehingga mengurangi SCA.
c. Pandangan tersebut diperkuat oleh Hammel & Prahalad (1994) yang menganggap pelanggan sebagai orang yang kurang wawasan, oleh karena itu orientasi pelanggan merupakan tirani bagi konsep orientasi pasar.

Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, penulis mengajukan pembelajaran pelanggan sebagai komponen suplemen terhadap konsep orientasi pasar agar mampu menghasilkan efek sinergis yang menjadikan operasionalisasi konsep tersebut lebih efektif. Penambahan komponen pembelajaran pelanggan sebagai suplemen konsep orientasi pasar terinspirasi dari dan sekaligus merupakan hasil sintesa dari dua pendekatan terhadap orientasi pasar yaitu market driven dan driving market, teori pembelajaran, dan persepsi sebagai penggerak perilaku.

Namun demikian, konteks driving market yang dimaksudkan penulis, berbeda dengan konteks dari Jaworski, Kohli, dan Sahay (2000) yang merupakan para penginisiator kedua pendekatan tersebut. Pendekatan driving market yang dimaksudkan Jaworski et al (2000) adalah upaya merestrukturisasi pasar dengan tujuan untuk meningkatkan posisi persaingan perusahaan. Sebaliknya penulis memadukan implikasi dari kata “pengaruh” dengan pembelajaran kepada pelanggan agar mampu menilai jenis, kualitas, dan diferensiasi dari suatu produk.

Pada artikel ini, komponen orientasi pasar yang disintesakan bersumber dari pengertian dan pengukuran dari Kohli & Jaworski (1990a, 1990b). Konsep tersebut diperkaya dengan komponen pembelajaran pelanggan. Oleh sebab itu penulis menamakannya MARKOR Plus. Selanjutnya, pengertian orientasi pasar dikembangkan menjadi upaya penggalian informasi pasar, mendiseminasikannya ke seluruh organisasi, berespon berdasarkan intelijen pasar tersebut, dan memberikan pembelajaran kepada pelanggan agar pelanggan mampu memahami dan menilai diferensiasi penawaran organisasi. Konsekwensi logis dari pengembangan konsep orientasi pasar tersebut adalah perlunya menyertakan pengukuran pembelajaran pelanggan pada pengukuran
orientasi pasar (skala MARKOR) sehingga menjadi MARKOR Plus.

Pembelajaran pelanggan dapat membentuk pemahaman, persepsi, logika, dan preferensi terhadap produk dan merk. Dalam situasi persaingan yang tajam, strategi keunggulan merk dapat dikembangkan melalui pembelajaran pelangan. Strategi keunggulan merk akan menciptakan keunggulan berdaya saing berkelanjutan bagi perusahaan.
Situasi ini sangat nyata ketika konsumen diperkenalkan kepada produk yang sama sekali baru seperti penyaji jasa internet atau kulkas yang mampu mengorganisir persediaan bahan makanan. Konsumen sama sekali tidak memiliki pengetahuan mengenai produk, konsep nilai tentang produk tersebut, dan pengalaman untuk mampu memilih diantara tawaran yang tersedia. Produk/merk yang sukses biasanya adalah milik para pionir. Pekerjaan utama pionir adalah (Carpenter, 2001 qf Iacobucci, 2001) :
a. Mengajari konsumen mengenai aspek-aspek penting dari produk tersebut (membentuk persepsi)
b. Menciptakan konsep nilai terhadap produk (membentuk preferensi konsumen untuk menyukai produk)
c. Membantu konsumen menciptakan logika untuk memilih diantara merk para pionir (mengembangkan strategi merk).

Nilai yang mampu dihasilkan pembelajaran pelanggan tidak terbatas pada inovasi teknologi. Pembelajaran pelanggan mampu menghasilkan inovasi nilai baik melalui inovasi teknologi maupun terobosan strategi. Terobosan strategi dapat dilakukan melalui pemahaman yang baik dan respon yang sesuai dengan karakterisitk pasar. Contoh kasus adalah kopi, yang merupakan salah satu komoditas tertua di dunia. Ritual minum kopi telah membentuk persepsi dan preferensi konsumen tentang kopi. Di Indonesia, kopi umumnya diminum oleh pria atau masyarakat setengah
baya. Beberapa dekade lalu kopi adalah minuman yang dipersepsikan murah dan kurang bergengsi bagi remaja, pemudi, dan wanita profesional. Di sisi lain, perkembangan social menempatkan kafe sebagai tempat yang representatif untuk mengekspresikan gaya hidup. Melalui konsep kafe, Excelso menyajikan kopi dengan gaya Itali kemudian berhasil membentuk citra yang berbeda mengenai ritual minum kopi. Saat ini setiap sore dengan mudah dijumpai, remaja baik pria maupun wanita berkumpul di kafe menikmati kopi sebagai manifestasi gaya hidup modern. Mereka menggugurkan konsep lama mengenai kopi sebagai minuman murah yang lebih tepat untuk pria.

Melalui pembelajaran dapat dilakukan reposisi ataupun penguatan terhadap kultur lama, yang selanjutnya mampu menghasilkan inovasi nilai. Konsisten dengan pandangan tersebut, Carpenter et al (2001) qf Iacobucci (2001) menyatakan bahwa melalui pembelajaran pelanggan perusahaan akan menciptakan keunggulan by shaping the rules of the game to the advantage of one player over another. Oleh karena itu, pensintesaan pembelajaran pelanggan terhadap konsep orientasi pasar, akan menghasilkan perpaduan sinergis yang mampu menjadikan operasionalisasi konsep orientasi pasar menjadi lebih efektif.

Beberapa pendapat, antara lain Slater (2000) menyatakan bahwa orientasi pasar merupakan pembelajaran organisasi. Sebagai pembelajaran, maka orientasi pasar merupakan faktor pendahulu (antecedent) terhadap inovasi (Hurley & Hult, 1998). Dalam hubungan antara pengaruh orientasi pasar terhadap kinerja, Han et al. (1998) menyatakan bahwa inovasi adalah mata rantai yang menghubungkan antara orientasi pasar dengan kinerja. Dari berbagai studi yang dilakukan misalnya Damanpour & Evan (1984), Damanpour et al. (1989), Khan & Manopichewatana (1989), Zahra de Belardino & Boxx (1988) qf Han et al. (1998), Lukas & Ferell (2000) membuktikan hubungan positif antara inovasi dengan kinerja. Bahkan Grounhag & Kauffman (1988) qf Han et al (1998) menyatakan inovasi penting untuk survival bukan hanya untuk pertumbuhan.

Dalam konteks pembelajaran organisasi, Baker & Sinkula (1999) menyatakan bahwa orientasi pasar yang disertai pembelajaran akan menghasilkan inovasi. Sedangkan orientasi pasar tanpa pembelajaran akan menghasilkan imitasi. Dari perspektif yang berbeda penulis menyatakan bahwa orientasi pasar yang disertai pembelajaran pelanggan akan mendorong perusahaan menjadi pemimpin pasar. Sedangkan orientasi pasar tanpa pembelajaran pelanggan hanya menjadikan perusahaan sebagai pengikut pasar.



PENUTUP
Akselerasi perubahan menuntut perusahaan untuk lebih memperhitungkan faktor-faktor eksternal disamping mempersiapkan faktor internal agar dapat bergerak proaktif dan memposisikan diri secara lebih efektif di tengah-tengah arena yang kompetitif (Hunt & Morgan, 1995). Analisis yang cermat terhadap faktor eksternal tercermin pada penerapan orientasi pasar perusahaan. Melalui orientasi pasar atau dengan menjadi market driven, perusahaan akan memperoleh informasi pasar yang aktual, akurat, dan berorientasi tindakan sebagai upaya untuk menghasilkan SCA melalui penyajian SCV ( Mc. Daniel & Kolari, 1987; Day, 1990; Swartz, 1990; Kumar et al., 1997; Loubeau et al., 1997; 1998; Woodruff, 1998; Day, 1999; Pulendran et al., 2000; Carpenter et al, 2001 qf Iacobucci, 2001).

Konstruk yang membangun orientasi pasar dari Kohli & Jaworski (1990) belum cukup kuat untuk mencerminkan suatu gerakan proaktif yang dibutuhkan dalam lingkungan yang semakin dinamis. Penulis mengajukan pembelajaran pelanggan sebagai kombinasi antara pendekatan market driven dan driving market. Pembelajaran pelanggan disintesakan dari kedua pendekatan tersebut, teori pembelajaran, dan persepsi sebagai penggerak perilaku. Dengan demikian diharapkan terjalin hubungan yang sinergis antara perusahaan dengan pelanggan. Hubungan demikian berpotensi bertahan dalam jangka waktu panjang sebab berdasarkan asas saling manfaat dan saling percaya.

Oleh karena itu, orientasi pasar merupakan aksi yang konsisten dengan konsep pemasaran baik dari segi paradigma yang mendasarinya maupun pencapaian sasaran pemasaran.

DAFTAR PUSTAKA
Baker, William E. & James M. Sinkula (1999), “The Synergistic Effect of Market Orientation and Learning Orientation on Organizational Performance”, Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 27, No. 4, p. 411-427.

Bhuian, Shahid N. & Mohsin Habib (2000). “Enterpreneurship and Market Orientation : Direct Relationship and Their Impact on Performance”, Marketing in a Global Economy Proceedings.

_______ & Abdallah Abdul-Gader (1997). “Market Orientation in the Hospital Industry”, Marketing Health Services, Winter, p. 37-45.

Cadogan, J.W. , A. Diamantopoulos, & C.P. de Mortanges (1997). “Developing a Measure of Export Market Orientation : Scale Construction and Cross-Cultural Validation”, Warwick Business School.

Cravens, David W. (2000). Strategic Marketing, 6th ed., McGraw-Hill Companies, Inc., Boston.

Dawes, John (1999). “The Relationship between Subjective and Objective Company Performance Measures in Market Orientation Research : Further Empirical Evidence”, Marketing Bulletin, Vol. 10, p. 65-75.

Day & Prakash Nedungadi (1994), “Managerial Representations of Competitive Advantage”, Journal of Marketing, Vol. 58, p. 31-44.

_______ (1990). Market Driven Strategy : Processes For Creating Value, The Free Press, A Division of Simon & Schuster, Inc., New York.

_______ (1999). The Market Driven Organization : Understanding, Attracting, and Keeping Valuable Customers, The Free Press, A Division of Simon & Schuster, Inc., New York.

_______, George & Liam Fahey (1988), “Valuing Market Strategies”, Journal of Marketing, Vol. 52, p. 45-57. Farrell, Mark A. & Edward Oczkowski (1997). “An Analysis of the MKTOR and MARKOR Measures of Market Orientation : An Australian Perspective”, Marketing Bulletin, Vol. 8, p. 30-40.

Gabel, Terrance G. (1995). “Market Orientation : Theoretical and Methodological Concerns”, American Marketing Association, Summer, p. 368-375.

Greenley, G.E (1995), “Market Orientation and Company Performance : Empirical Evidence from UK Companies, “, British Journal of Management, No. 6, p. 1 - 13.

Grewal, Rajdeep & Patriya Tansuhaj (2001). “Building Organizational Capabilities for Managing Economic Crisis : The Role of Market Orientation and Strategic Flexibility”, Journal of Marketing, Vol. 65, p. 67-80.

Gummesson, Evert (1999). Total Relationship Marketing : Rethinking Marketing Management, From 4Ps to 30Rs, Butterworth-Heinemann, Oxford.

Hamel G. & C.K. Prahalad (1994). Competing for the Future. Harvard Business School Press, Boston.

Han, Jin K., Namwoon Kim, & Rajendra K. Srivastava (1998). “Market Orientation and Organizational Performance : Is Innovation a Missing Link ?”, Journal of Marketing, Vol. 62, p. 30-45.

Hurley, Robert F. & G. Thomas M. Hult (1998). “Innovation, Market Orientation, and Organizational Learning : An Integration and Empirical Examination”, Journal of Marketing, Vol. 62, p. 42-54.

Iacobucci, Dawn (2001). Kellogg on Marketing, John Wiley and Sons, USA.

Jaworski, Bernard, Ajay K. Kohli & Arvind Sahay (2000). “Market – Driven Versus Driving Markets”, Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 28, No. 1, p. 45-54.

Keegan, Warren J. (1995). Manajemen Pemasaran Global, Edisi Bahasa Indonesia, Jilid 2, Prenhallindo, Jakarta.

Kohli, Ajay K. & Bernard J. Jaworski (1990a). “Market Orientation : The Construct, Research Propositions, and Managerial Implications”, Journal of Marketing, Vol. 54, p. 1-18.

_____, _____, & Ajith Kumar (1990b). Market Orientation : The Construct, Research Propositions, and Managerial Implications, Marketing Science Institute, Massachusetts.

_____, _____, & _____ (1993). “MARKOR : A Measure of Market Orientation”, Journal of Marketing Research, Vol. XXX, p.467-477.

Kotler, Philip (1994). Marketing Management : Analysis, Planning, Implementation, and Control, 8th ed., Prentice-Hall International, Inc., New Jersey.

_______ (2000). Marketing Management, The Millennium ed., Prentice-Hall International, Inc., New Jersey.

Kumar, Kamalesh & Ram Subramanian (2000), “Navigating the External Environment Through a Market Orientation”, SAM Advanced Management Jounal, Winter, p.16-30.

Loubeau, Patricia & Robert Jantzen (1998). “Marketing Research Activities in Hospitals”, Marketing Health Services, Spring, p. 13-17.
_______ & _____ (1998). “The Effect of Managed Care on Hospital Marketing Orientation”, Journal of Healthcare Management, Vol. 43, p. 230-241.

Lukas, Bryan A. & O. C. Ferrell (2000). “The Effect of Market Orientation on Product Innovation”, Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 28, No. 2, p. 239-247.

Matsuno, Ken, John T. Mentzer, & Joseph O. Rentz (2000). “A Refinement and Validation of the MARKOR Scale”, Journal of Academy of Marketing Science, Vol. 28, No.4, p.527-539.

Mavondo, Felix T. & Mark A. Farrell (2000). “Measuring Market Orientation : Are There Differences Between Business Marketer’s and Consumers Marketer’s”, Australian Journal of Management, September, p.223-244.

McCarthy, Jerome E & William D. Perreault, Jr. (1990). Basic Marketing, A Managerial Approach, 10th ed., Homewood, IL : Irwin.

McDaniel, Stephen W. & James W. Kolari (1987). “Marketing Strategy Implications of the Miles and Snow Strategic Typology”, Journal of Marketing, Vol. 51, p.19-30.

Narver, John C. & Stanley F. Slater (1990). “The Effect of Market Orientation on Business Profitability”, Journal of Marketing, October, p. 20-35.

Pawitra, Teddy (1993). Pemasaran : Dimensi Falsafah, Disiplin, dan Keahlian, Sekolah Tinggi Manajemen Prasetia Mulya, Jakarta.

________ (2001). Hirarki Tujuan Generik Pemasaran, Bahan Kuliah Teori Pemasaran S3 Manajemen Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.

Pulendran, Sue, Richard Speed & Robert E. Widing (2000). “The Antecedents and Consequences of Market Orientation in Australia”, Australian Journal of Management, Vol. 25, No. 2, p. 119-143.

Slater, Stanley F. & John C. Narver (2000). “Intelligence Generation and Superior Customer Value”, Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 28, No. 1, p. 120-127.

Soehadi, Agus W. (2001). The Relationship between Market Orientation, Supplier Partnership, Environmental Factors, and Firm Performance in Indonesian Retail Firms, University of Strathclyde Glasgow, UK.

Swartz, Gordon S. (1990). “Organizing to Become Market-Driven”, Marketing Science Institute, Cambridge, Massachusetts, Report No. 90-123.

Woodruff, Robert B. (1997). “Customer Value : The Next Source for Competitive Advantage”, Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 25, No. 2, p. 139-153.

Kamis, 29 September 2011

INTERNAL MARKETING DALAM MENCAPAI KEUNGGULAN BERSAING

Dr.Eddi Suprayitno, SE.,MM.

ABSTRAC
Internal marketing (IM) issues have been discussed widely for a number of years. Berry (1981) in the Rafiq and Ahmed (2000) defined IM as "viewing employees as internal customers, viewing jobs as internal products that satisfy the needs and wants of these internal customers while addressing the objectives of the organization" This paper describes the IM as one of the number tools to achieve the competitive advantage which provide customer satisfaction through employee satisfaction. According the Rafiq and Ahmed's article, there are five elements of IM: employee motivation and satisfaction, customer orientation and customer satisfaction, inter-functional co-ordination and integration, marketing-like approach to above, and the implementation of spesific corporate or functional strategies.

Key words: Internal marketing, kepuasan pelanggan, keunggulan kompetitif, kualitas pelayanan.

A. Pendahuluan

Dalam bekerja, orang tidak hanya mencari keuntungan ekonomis dari pekerjaan mereka. Mereka juga termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan yang lain. Sebagaimana yang diungkapkan Maslow dalam Gibson (1997) bahwa kebutuhan manusia terdiri atas lima tingkatan. Jika satu tingkat kebutuhan telah terpenuhi, maka akan disusul oleh kebutuhan tingkat selanjutnya, begitu seterusnya sampai pada tingkat kebutuhan paling tinggi yaitu kebutuhan untuk mengaktualisasi diri. Dalam hirarki kebutuhan Maslow, kebutuhan manusia yang paling dasar (tingkat pertama) adalah kebutuhan fisiologis, kedua, kebutuhan akan rasa aman, ketiga, kebutuhan sosial, keempat kebutuhan akan pengakuan/penghargaan, dan kelima, kebutuhan aktualisasi diri.

Di kebanyakan perusahaan, terutama perusahaan yang bergerak di bidang jasa, peran karyawan sangat menentukan dalam memberikan kepuasan pada pelanggan. Hal ini dikarenakan proses produksi dan konsumsi pada jasa terjadi secara simultan. Pemasaran jasa akan lebih mudah dipahami dengan pendekatan elemen-elemen gabungan antara produk dan distribusi, yang menekankan pada ketergantungan yang saling menguntungkan (mutualism) antara elemen-elemen tersebut. Pendekatan ini memungkinkan manajemen untuk memfokuskan perhatian pada pentingnya peran karyawan dalam melayani konsumen.

Pemasaran, operasi dan manajemen sumber daya manusia pada jasa lebih saling terkait dibandingkan perusahaan manufaktur. Kegiatan manufaktur biasanya mempunyai jarak dari titik pembelian dengan konsumsinya, dan secara substansial ada rentang waktu sebelum pembelian dan konsumsi terjadi, sehingga konsumen dapat melihat perbedaan secara jelas antara identitas manufaktur dan identitas outlet distribusi tempat produk itu dijual. Sedangkan dalam jasa, para konsumen secara fisik menyaksikan operasi jasa dan berinteraksi dengan para karyawan secara langsung.

Zeithaml dan Bitner (1996) menyatakan bahwa peran orang, yang dalam hal ini adalah karyawan lini depan dan yang mendukungnya di bagian belakang,
sangat penting bagi keberhasilan organisasi jasa, karena selain berperan dalam penyajian jasa, mereka juga mempengaruhi persepsi pembeli. Karyawan adalah jasa itu sendiri, karyawan adalah organisasi di mata konsumen, dan karyawan adalah para pemasar. Oleh karena itu, perusahaan perlu memiliki
strategi-strategi yang mendukung pekerjaan karyawan dalam melakukan fungsi pemasaran.

Kotler (2000) dalam bukunya, Marketing Management, mengungkapkan bahwa perusahaan jasa yang pengelolaannya sangat baik yakin bahwa hubungan
karyawan akan mempengaruhi hubungannya dengan pelanggan. Manajemen melaksanakan pemasaran internal (internal marketing) dan memberikan dukungan pada karyawan dan menghargai kinerja yang baik. Karl Albrecht dalam Kotler (2000) mengamati bahwa karyawan yang kecewa bisa menjadi teroris bagi perusahaan. Selain itu, Rosenbluth dan Peter, dalam The Customer Comes Second, (masih) dalam Kotler (2000), demikian jauh mengatakan bahwa jika perusahaan benar-benar ingin memuaskan pelanggannya, karyawanlah yang harus dinomorsatukan, bukan pelanggan.

Oleh karena itu, untuk memuaskan karyawan, yang terpenting adalah membantu mereka menghadapi tuntutan hidup mereka di luar pekerjaan. Misalnya, ketika karyawan semakin menyadari akan pentingnya waktu untuk keluarga, perusahaan dapat mengakomodasi kebutuhan tersebut misalnya dengan menerapkan jadual kerja yang fleksibel. Dalam kebanyakan jasa personal, seperti salon, tempat penitipan anak, jasa konseling dan lain-lain, karyawan kontak (contact personnel) menangani jasa secara keseluruhan. Jadi apa yang ditawarkan adalah karyawan itu sendiri, sehingga investasi untuk pengembangan karyawan jasa pararel dengan investasi langsung untuk pengembangan produk manufaktur.

Tetapi, meskipun karyawan kontak tidak mengerjakan jasa secara keseluruhan, dalam pandangan konsumen, karyawan tetap masih merupakan personifikasi perusahaan. Semua karyawan merupakan cerminan perusahaan kepada para kliennya, sehingga segala sesuatu yang dikerjakan atau dikatakan (baik ketika sedang bertugas maupun sedang tidak bertugas) dapat mempengaruhi persepsi konsumen terhadap organisasi. Hal ini dapat diartikan bahwa para karyawan juga berperan sebagai pemasar. Secara fisik, mereka merupakan manifestasi produk dan dari sisi promosi karyawan merupakan papan berjalan.

B. Pembahasan

Konsep Internal marketing

Internal marketing (IM) pada mulanya dikemukakan sebagai suatu pendekatan bagi manajemen jasa yang berupa penanaman konsep pemasaran tradisional dan bauran pemasaran pada semua karyawan sebagai pelanggan dalam organisasi sehingga karyawan bisa meningkatkan efektivitas perusahaan dengan meningkatkan hubungan pasar internal. IM diyakini dapat meningkatkan motivasi semua anggota organisasi untuk melihat peran mereka sendiri dan memperhatikan apa yang dikehendaki konsumen dengan cara berorientasi pada pelayanan.

Orientasi pada pelanggan menuntut diterapkannya paradigma "kepuasan pelanggan untuk menghasilkan laba", sehingga pelanggan menjadi manajer suplai jasa, suatu bentuk manajemen partisipatif. IM harus dipandang sebagai suatu teknik manajemen bagi tumbuhnya motivasi dan dukungan, bukan sebagai program atau kampanye jangka pendek untuk menarik perhatian pelanggan. Pembentukan orientasi marketing bertujuan untuk menciptakan lingkungan internal yang fleksibel dan responsif, yang memelihara nilai-nilai dan perilaku yang baik, yang mencerminkan tujuan-tujuan organisasi dan sinerginya dengan pasar.

Walker dan Ruekert (1987) dalam Varey (?) menyimpulkan bahwa marketer dapat memiliki peran yang berlainan di berbagai bagian dalam organisasi, yang harus selalu responsif terhadap pelanggan, tapi tidak harus selalu tergantung pada piranti-piranti pemasaran seperti iklan. IM bertujuan untuk menciptakan manajemen yang berorientasi pasar, yang dalam hal ini marketing bukanlah suatu fungsi melainkan sebagai suatu cara untuk melakukan bisnis.
Internal Marketing Sebagai Suatu Mekanisme Untuk Meningkatkan Kapabilitas Organisasi

IM adalah suatu proses holistik untuk mengintegrasi berbagai fungsi organisasi, dengan cara:
• Memastikan bahwa semua karyawan memahami dan menjalankan bisnis dan aktivitas-aktivitasnya dalam lingkungan yang mendukung kepuasan pelanggan.
• Memastikan bahwa semua karyawan siap dan termotivasi untuk bertindak dengan cara-cara yang berorientasi pada pelayanan.

IM memfokuskan pada upaya mencapai pertukaran nilai-nilai dan simbolsimbol internal yang efektif antara organisasi dan karyawannya sebagai suatu prasyarat agar pertukaran dengan pasar eksternal berhasil. Evolusi kapabilitas organisasi untuk berubah dan responsif harus terencana dengan baik. Strategi harus diterjemahkan menjadi realitas dengan proses " mengelola gagasan menjadi kenyataan" sehingga gagasan-gagasan yang baik diimplementasi dan dilembagakan. Dawson (1994) dalam Varey, mengatakan bahwa banyak organisasi yang merespon gejolak ekstrim di lingkungannya, yang berupa perubahan yang radikal dan tak terduga, dengan meniru perusahaan lain yang dulunya terbukti berhasil. Namun peniruan ini kurang memadai untuk mencapai
keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Manajer memerlukan suatu kultur dan ketrampilan manajemen organisasi yang lebih baik. Dan yang lebih utama adalah perlunya fleksibilitas dan adaptabilitas dalam mengorganisir bisnis sebagai suatu sistem yang terbuka.

IM memunculkan pandangan bahwa marketing adalah suatu proses yang
melibatkan seluruh bagian perusahaan sebagai sarana untuk selalu mencocokkan antara penawaran perusahaan dengan kebutuhan pelanggan sasarannya. Proses marketing merupakan aktivitas inti pemberi pelayanan/jasa dan tanggung jawab semua bagian fungsional. Tim kerja swa-kelola dan yang memiliki berbagai perspektif merupakan struktur yang paling tepat untuk bisa memberikan pelayanan yang baik, responsibilitas dan fokus pada pelanggan, dengan menumbuhkan rasa memiliki dan keterlibatan dalam semua level. Proses pengambilan keputusan diberikan pada jenjang manajemen yang lebih rendah, dan tim kerja yang lebih tinggi mengevaluasi dan mengorganisir untuk memastikan bahwa proses yang dilakukan sesuai dengan kontrol dan menggunakan sumber daya secara efektif dan efisien sehingga dapat memuaskan pelanggan. Internal Marketing Sebagai Sarana Untuk Mencapai Kepuasan Pelanggan

Kepuasan pelanggan tidak hanya ditentukan oleh kualitas produk maupun atribut-atribut yang lain, namun lebih ditentukan oleh kualitas pelayanan yang baik. Karyawan memegang peranan penting dalam memberikan pelayanan. Untuk itu karyawan hendaknya didorong untuk melihat diri mereka sendiri dan
bisnis serta organisasinya sebagaimana pelanggan melihat mereka, dan praktek marketing disebarkan ke seluruh bagian organisasi. Manajer sebagai pengalokasi sumber daya dan pengambil keputusan dikelola oleh para pelanggan internal dan menjadi fasilitator pelayanan pelanggan yang baik. Semua harus memiliki tanggung jawab dan otoritas bagi kualitas pelayanan.

Kualitas pelayanan mencakup kualitas pelayanan internal, yaitu pengambilan keputusan strategis dan kemampuan operasional melalui penggunaan pilihan strategis, dan kualitas pelayanan eksternal, yang dalam hal ini manajemen diharapkan oleh pelanggan menyadari peran persepsi pelanggan dan secara aktif selalu berusaha memahami dan memenuhi kebutuhan dengan membina hubungan yang erat dengan para pelanggan. Formulasi dan implementasi strategi harus didasarkan pada marketing sehingga bisa memastikan bahwa perubahan organisasi yang terjadi selalu digerakkan oleh pasar dan dapat dicapai secara efektif dan efisien.

Dewasa ini, sebagaimana dinyatakan dalam Schroeder (2000) kunci untuk mencapai profitabilitas jasa dikaitkan dengan fokus pada pelanggan dan karyawan sebagai bagian yang terpenting. Manajemen sering hanya berfokus pada seperangkat tujuan atau posisioning jasa tanpa memperhatikan permasalahan sebenarnya. Manajer sebaiknya berfokus pada karyawan lini depan yang menyajikan jasa, teknologi yang mendukungnya, pelatihan dan kepuasan pelanggan.

Loyalitas pelanggan dipengaruhi oleh kepuasan pelanggan. Jika pelanggan merasa puas, mereka tidak hanya akan melakukan pembelian ulang tapi mereka juga akan memberitahukannya pada orang lain sehingga hal ini kiranya akan lebih efektif dibandingkan program promosi yang lain. Selanjutnya, kepuasan pelanggan ini dipengaruhi juga oleh external service value, yaitu keuntungan yang diperoleh pelanggan dari seluruh biaya yang dikeluarkannya untuk memperoleh jasa tersebut yang tidak hanya menyangkut harga, tapi juga mencakup biaya-biaya untuk mencapai lokasi serta menunggu (antrian), termasuk juga perbaikan/pemecahan-pemecahan masalah berkenaan dengan jasa tersebut.

Berikutnya adalah mengenai produktivitas karyawan. Karyawan yang produktif akan menurunkan biaya operasi dan menjamin kepuasan pelanggan jika didukung oleh sistem manajemen dan teknologi yang tepat. Sedangkan retensi karyawan dan tingkat turnover karyawan yang rendah dapat meningkatkan produktivitas dan nilai pelanggan. Studi tradisional mengenai biaya turnover karyawan selama ini hanya memperhitungkan biaya rekrutmen, penggajian dan training replacements. Padahal, dalam kenyataannya, justru biaya terbesar adalah menurunnya produktivitas dan kepuasan pelanggan akibat adanya karyawan baru. Retensi karyawan dan produktivitasnya ditentukan oleh kepuasan karyawan. Kepuasan karyawan ini dapat dicapai melalui internal service quality, yang meliputi seleksi karyawan, workplace design, reward systems dan peralatan komputer yang mendukung. Para pekerja akan merasa puas dengan pekerjaan mereka jika mereka merasa bahwa mereka bisa bertindak untuk kepentingan pelanggan, sehingga akan menciptakan kepuasan karyawan maupun kepuasan pelanggan. Hal itu bisa tercapai antara lain dengan memberi kebebasan pada karyawan lini depan dalam memanfaatkan sumber daya-sumber daya untuk segera memenuhi kebutuhan pelanggan.

Marriot dalam Yazid (1999), mengatakan bahwa untuk memuaskan konsumen, manajemen harus memuaskan karyawannya terlebih dulu. Konsumen yang terpuaskan merupakan dasar yang dapat diandalkan bagi perusahaan untuk mempertahankan karyawan. Setiap orang suka bekerja di perusahaan yang konsumennya merasa puas dan loyal. Pekerjaan yang dilakukan dengan perasaan senang/bahagia akan lebih memuaskan. Karyawan akan memiliki kesempatan untuk memperkuat hubungan dengan konsumen baru dan pada gilirannya konsumen juga akan lebih terpuaskan dan dapat menjadi pelanggan yang loyal. Di samping itu, loyalitas karyawan akan meningkatkan profitabilitas perusahaan karena karyawan yang bekerja lebih lama biasanya kualitas pelayanannya juga akan meningkat dan dapat mengurangi biaya turnover karyawan.

Konsep IM bisa diartikan memberikan hubungan antara kemampuan organisasi dengan kebutuhan dan keinginan pasar. Artinya organisasi dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan bisnisnya dalam memberikan nilai tambah bagi para pelanggannya. IM merupakan senjata yang strategis yang membantu mencapai kualitas pelayanan yang sangat baik sehingga menciptakan kepuasan pelanggan yang lebih baik pula. Dalam IM, "produk"nya bukan hanya suatu rencana tertentu yang dibuat oleh manajer kepada para pelanggan internalnya. Mekanisme IM memastikan bahwa melalui riset pasar internal dan desain pelayanan dan produk internal yang responsif, pelanggan internal (karyawan) memperoleh sumber daya dan dukungan yang mereka perlukan untuk bisa melayani pelanggan dengan cara terbaik, yang hanya bisa diwujudkan bila mereka terdorong untuk melakukannya. Komunikasi dua arah mengenai kebutuhan dan keinginan pelanggan serta umpan balik mengenai kinerja dan kepuasan kerja sangat diperlukan.

Organisasi harus mengembangkan sensitivitas terhadap kebutuhan pelanggan dan perubahan teknologi, serta tindakan pesaing. Pengetahuan dalam
organisasi bisa menjadi sumber keunggulan kompetitif jika organisasi mau belajar dari pengalaman dan proses yang ada. Tak bisa dipungkiri akan terjadi kesenjangan pengetahuan antara para manajer senior yang memfokuskan pada perencanaan dan pengarahan dan lingkup strategi eksternal, dengan manajer operasi yang bertanggung jawab pada lingkup operasional internal. Maka, pengambilan keputusan dan tindakan akan diarahkan oleh apa yang menurut para menajer lazim dan bukan seadanya dalam lingkungan organisasi internal dan eksternal.

Proses IM dapat memberikan suatu mekanisme untuk mengembangkan dan memperbarui sebuah model yang bisa dimengerti secara luas, dengan menggunakan bahasa yang tepat tentang bagaimana perusahaan beroperasi dan bagaimana yang seharusnya. IM merupakan gabungan dari sejumlah teknologi manajemen seperti pengembangan sumber daya manusia, hubungan karyawan, pengembangan organisasi, manajemen strategis, manajemen kualitas dan macromarketing. Mengelola sebuah bisnis secara efektif memerlukan proses berkelanjutan dan kompleks dan tidak bisa dipandang sebagai urutan langkah yang terpisah-pisah. Tugas manajer tidak ditetapkan hanya di area tertentu tapi sangat luas yang secara fungsi tidak bisa dibeda-bedakan dan melewati batasbatas fungsi yang selama ini dianut (sebagai negosiator, mengalokasi sumber daya, penyebaran informasi, dll).

Untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, diperlukan
hal-hal berikut ini:
• Tingkat keterlibatan yang tinggi oleh para anggota organisasi dalam kontak personal dengan pelanggan.
• Wawancara dan survey reguler dengan pekerja untuk mengukur iklim dan budaya pelayanan internal dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas dan mengidentifikasi tindakan-tindakan yang akan dilakukan yang didasarkan pada hasil survey pelanggan.
• Pengukuran kinerja kontribusi tiap fungsi terhadap pencapaian tujuan.
• Pelayanan jasa individual dalam tim swa-kelola yang didanai oleh badan peningkatan kualitas yang beroperasi di berbagai level organisasi secara keseluruhan.
• Komunikasi internal ditargetkan dan disesuaikan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada semua kelompok dan menentukan apa yang diharapkan dari mereka dengan menentukan perilaku tertentu yang diharapkan.
• Imbalan untuk semua orang didasarkan pada tercapainya tujuan kualitas pelayanan internal.
• Diakuinya model peran kualitas pelayanan yang baik melalui saluran-saluran komunikasi internal dan media eksternal seperti iklan.
• Karyawan didorong untuk berkomunikasi melalui dialog dengan pelanggan dalam keadaan terbebas dari tugas-tugas rutinnya.
• Pengembangan dan training pribadi dipusatkan pada kompetensi kualitas pelayanan dan dengan menggunakan data kinerja yang dikumpulkan yang bertujuan untuk meninjau ulang asumsi-asumsi peran dan tuntutan pelanggan.
• Fokus pada pembinaan hubungan kerja yang saling mendukung yang melewati batas-batas departemen yang didasarkan pada kepercayaan (komunikasi yang baik dan janji yang realistis) dan bukan hanya pada pelanggan eksternal.
• Kerangka konsep dan ketrampilan harus dibuat dan digunakan untuk meningkatkan proses organisasi yang berdampak pada output pelayanan sehingga juga mempengaruhi persepsi pelanggan tentang kualitas.

Perkembangan Konsep Internal Marketing
Sebagaimana dikatakan oleh Parasuraman dalam Varey (?), bahwa pelayanan akan bisa ditingkatkan hanya melalui sebuah cara yang sistematis dan selangkah demi selangkah, yang meningkatkan kemampuan dan kesediaan karyawan untuk memberikan pelayanan dengan menciptakan sebuah sistem yang mendukung kualitas pelayanan. Untuk mengubah kebiasaan, pengetahuan dan ketrampilan manusia, perlu proses yang panjang (evolusi) bukan revolusi.

Studi literatur yang dilakukan lebih dari duapuluh tahun yang lalu menunjukkan adanya pemisahan dalam tiga fase yang saling berkaitan erat mengenai perkembangan teoritis pada konseptualisasi IM, yaitu fase kepuasan karyawan, fase orientasi pelanggan dan ketiga adalah fase implementasi strategi
/manajemen perubahan.

Motivasi dan kepuasan karyawan
Dalam awal perkembangannya, kebanyakan literatur IM terfokus pada isu tentang motivasi dan kepuasan karyawan. Hal ini dikarenakan akar dari konsep IM terletak pada usaha memperbaiki kualitas pelayanan. Berry (1981) dalam Rafiq & Ahmed (2000) mendefinisi IM sebagai "karyawan dianggap sebagai pelanggan internal, pekerjaan dipandang sebagai produk yang memuaskan kebutuhan dan keinginan dari pelanggan internal tersebut, dan mengarah pada tujuan organisasi. George (1977) dalam Rafiq & Ahmed (2000), juga menyatakan bahwa untuk memuaskan pelanggan, perusahaan juga harus memuaskan karyawannya.

Orientasi Pelanggan
Istilah interactive marketing oleh Gronroos dalam Rafiq dan Ahmed (2000), digunakannya untuk menjelaskan keterlibatan karyawan kontak dalam pelayanan, yang dalam hal ini mereka responsif terhadap kebutuhan pelanggan. Menurut Gronroos (1981) dalam Rafiq dan Ahmed (2000), bukan hanya interaksi pembelipenjual saja yang berpengaruh pada pembelian dan keputusan pembelian ulang, tapi yang lebih krusial, bahwa interaksi pembeli-penjual memberikan peluang pemasaran bagi organisasi. Untuk mendapatkan keunggulan dalam memanfaatkan peluang ini perlu adanya orientasi pada pelanggan dan karyawan
yang bisa menjual (sales-minded personnel). Karena itu, tujuan dari IM adalah untuk mendapatkan karyawan yang termotivasi dan menyadari perlunya memuaskan pelanggan. Lebih jauh, pelayanan yang efektif menuntut koordinasi yang efektif pula antara karyawan kontak dan karyawan yang mendukung di bagian belakang. Gronroos memandang bahwa konsep IM merupakan sarana untuk mengintegrasi berbagai fungsi yang berbeda, yang sangat penting bagi hubungan pelanggan pada perusahaan jasa.

Implementasi strategi dan manajemen perubahan
Winter (1985) dalam Rafiq dan Ahmed (2000), mengemukakan peranan
potensial IM sebagai suatu teknik untuk mengelola karyawan pada pencapaian tujuan organisasi. Winter menekankan bahwa peran IM adalah meluruskan, mendidik dan memotivasi karyawan untuk mencapai tujuan organisasi. Pengembangan IM sebagai suatu sarana implementasi juga ditambah dengan tumbuhnya keyakinan bahwa IM memiliki potensi sebagai mekanisme integrasi antar fungsi dalam organisasi.

Dalam tahap ini, peranan IM sebagai suatu alat/metodologi implementasi dibuat lebih eksplisit. Pada awalnya, pandangan ini muncul dalam konteks pemasaran jasa dalam Flipo (1986) dan Tansuhaj et al.(1987), kemudian digeneralisir dalam beberapa jenis strategi pemasaran oleh Piercy dan Morgan (1989). Semua pendekatan tersebut muncul berdasar pada pemahaman bahwa implementasi strategi secara lebih efektif diperlukan untuk mengatasi konflik antar fungsi (Flipo, 1986) dan mencapai komunikasi internal yang lebih baik (Rafiq dan Ahmed, 2000). IM dipandang sebagai suatu mekanisme untuk mengurangi isolasi departemental (Martin, 1992), mengurangi friksi antar fungsi dan mengatasi hambatan untuk berubah (Darling & Taylor, 1989; Rafiq & Ahmed, 1993). Ini menunjukkan perluasan aplikasi IM pada beberapa jenis organisasi, tidak hanya organisasi jasa saja. Lingkup aktivitas IM lebih luas dari sekedar memotivasi karyawan untuk memuaskan pelanggan. Rafiq dan Ahmed (1993) dalam Rafiq dan Ahmed (2000) mendefinisi IM sebagai usaha terencana untuk mengatasi hambatan organisasional untuk berubah dan untuk meluruskan, memotivasi dan mengintegrasi karyawan untuk implementasi strategi fungsional
dan korporasi yang lebih efektif.

Model Internal Marketing
Dari berbagai analisis konseptual dan studi literatur yang dilakukan Rafiq
dan Ahmed (2000), ditentukan adanya lima elemen utama dari IM, yaitu:
1. Motivasi dan kepuasan karyawan
2. Orientasi pelanggan dan kepuasan pelanggan
3. Koordinasi dan integrasi antar fungsional
4. Pendekatan yang menyerupai pemasaran (Marketing-like approach)
5. Implementasi strategi fungsional atau specific corporate.

Kerangka kerja tersebut berpusat pada orientasi pelanggan, yang dicapai
melalui pendekatan seperti halnya pemasaran (marketing-like approach), untuk memotivasi karyawan dan koordinasi antar fungsi. Terpusatnya pada orintasi pelanggan menggambarkan pentingnya hal itu dalam literatur pemasaran dan peran sentralnya dalam mencapai kepuasan pelanggan dan tujuan-tujuan organisasional. Dalam kenyataannya, menurut Narver dan Slater (1990) dalam Rafiq dan Ahmed (2000), koordinasi antar fungsional merupakan aspek penting
dari orientasi pasar.

Pencantuman variabel pemberdayaan diperlukan untuk operasionalisasi
konsep interactive marketing dari Gronroos. Agar terjadi interactive marketing, karyawan lini depan perlu diberdayakan dan mereka perlu diberi kebebasan yang
lebih leluasa agar dapat responsif terhadap kebutuhan pelanggan dan dapat memberikan pelayanan dengan baik dan memuaskan. Berry dan Parasuraman juga menyatakan bahwa pemberdayaan merupakan aspek penting dalam IM. Pemberdayaan dalam model tersebut berpengaruh pada kepuasan kerja, orientasi pelanggan dan kualitas pelayanan. Pengaruh kepuasan kerja terhadap kualitas pelayanan terjadi secara tidak langsung melalui orientasi pelanggan.

C. Simpulan
Tansuhaj et al. (1987), dalam Foreman dan Money (1995) menemukan bukti empiris adanya hubungan yang kuat antara IM dengan kepuasan pelanggan. Piercy dan Morgan (1991) melihat pentingnya peran IM dalam implementasi strategi marketing. IM merupakan suatu proses dan mekanisme untuk memastikan tumbuhnya daya tanggap (responsibilitas) yang efektif terhadap perubahan lingkungan, fleksibilitas untuk mengadopsi tatanan-tatanan baru secara efisien,dan peningkatan kinerja secara berkelanjutan. IM dapat membantu organisasi dalam menyelaraskan respon terhadap perubahan lingkungan dan meningkatkan kapabilitasnya secara terus menerus sehingga dapat mencapai keunggulan kompetitif.

Keunggulan kompetitif perusahaan dapat dicapai melalui orientasi pada pelanggan dengan terlebih dulu memberikan kepuasan pada karyawan, supaya karyawan dapat memberikan kepuasan pula pada pelanggan. Hal ini dikarenakan karyawan merupakan aset penting bagi perusahaan, yang berfungsi pula sebagai pemasar. Karyawan, terutama karyawan kontak atau karyawan lini depan memegang peranan penting dalam memberikan pelayanan yang berkualitas.

IM memandang bahwa marketing merupakan proses yang melibatkan seluruh bagian fungsi dalam organisasi untuk menyesuaikan penawaran perusahaan dengan kebutuhan pelanggan. Untuk itu diperlukan integrasi antar fungsi dalam organisasi, sehingga konflik antar fungsi yang biasa terjadi dapat
diatasi.

REFERENSI
Foreman, S.K & Money, A.H, (1995), Internal Marketing: Concept, Measurement and Aplication, Journal of Marketing Management, (11): 755-768.
Gibson, J.L, Ivancevich, J.M, Donnelly, J.H.Jr, (1997), Organization: Bahavior, Structure and Process, Richard D. Irwin, Inc.
Lings, I,N, (2000), Internal marketing and supply chain management, Journal of
Service Marketing, 14 (1):27-43.
Kotler, P. (2000), Marketing Management, Millennium Edition, Prentice-Hall, Inc.
Rafiq, M & Ahmed, P.K, (2000), Advances in the internal marketing concept: definition, synthesis and extension, Journal of Service Marketing, 14 (6): 449-462.
Schroeder, R.G, (2000), Operation Management: Contemporary Concepts and
Case, McGraw Hill.
Varey, R.J, (?), A model of internal marketing for building and sustaining a competitive service advantage, Journal of Marketing Management
Yazid (1999), Pemasaran Jasa:Konsep dan Implementasi, Ekonosia, FE UII, Yogyakarta.
Zeithal , V.A, Bitner, M.J, (1996), Service Marketing, McGraw-Hill, International
Edition.

Rabu, 14 September 2011

MEMBANGUN "RELATIONSHIP MARKETING"

DR. EDDI SUPRAYITNO, SE.,MM.
Dosen FE.UISU Medan.



Perkembangan pemasaran sangat cepat bila dibandingkan dengan fungsi manajemen lainya, seperti; keuangan, produksi, dan sumber daya manusia. Sejak terjadinya revolusi industri pada akhir abad 19, yang mendorong kehadiran industri-industri baru, dengan menghasilkan produk dalam jumlah yang besar. Setelah revolusi industri mulai terjadi persaingan antar produsen dalam menjual produk-produk yang dihasilkan. Guna memenangkan persaingan di pasar, pemasaran digunakan sebagai alat oleh para produsen. Dalam perjalanannya pemasaran mengalami evolusi sejak awal abad 20, hingga akhir abad 20.

Memahami pelanggan dan mengidentifikasi apa yang menjadi kebutuhan mereka tidak pernah terdengar dalam banyak bisnis di awal abad 20, ketika pemasaran berorientaasi pada produksi. Perusahaan umumnya tahu bahwa apapun yang diproduksi dapat dijual. Sedikit sekali perhatian yang diberikan apa yang diinginkan pelanggan, pada zaman ketika barang siap pakai sedikit jumlahnya, orang Pada pertengahan abad ke 20-an banyak perusahaan mulai mengambil pandangan pemasaran yang lebih berfokus pada pelanggan. Banyak yang mulai menyadari bahwa mungkin mereka seharusnya memproduksi apa yang dibutuhkan dan diinginkan pada pelanggan. Orientasi ini kemudian dikenal sebagai konsep pemasaran. Konsep ini didasarkan 3 tujuan; orientasi pelanggan, koordinasi dan integrasi dari semua aktivitas pemasaran, dan fokus pada kemampuan organisasi untuk menghasilkan keuntungan jangka panjang. Konsep pemasaran kemudian secara erat dihubungkan dengan 4P dari McCharthy yaitu; product, price, promotion, dan place. Implikasi dari pandangan ini adalah bahwa jika kita dapat memadukan keempat elemen ini dengan tepat, kita akan menikmati sukses pemasaran.

Konsep pemasaran yang terefleksi dalam perpaduan unsur 4P dalam pemasaran sangat menonjol dalam pemikiran dan praktek pemasaran sampai pertengah tahun 1980-an. Ketika referensi tentang hubungan pelanggan dan membangun hubungan mulai muncul dalam leteratur dan menjadi fokus dari banyak penelitian. Konsep pemasaran walaupun masih relevan, telah dikembangkan untuk memasukkan dimensi hubungan. Barnes (2003:27) menyatakan bahwa ada 4 konsep lain yang harus dipandang sama seriusnya untuk mencapai kesuksesan, kempat konsep ini merupakan konsep yang lebih mutakhir tentang apa yang berperan dalam mencapai sukses pemasaran, empat konsep tersebut adalah 4R. Konsep 4R dari pemasaran adalah; retention, relationship, referrals, dan recovery (ketahanan, hubungan, perekomendasian, dan pemulihan), adalah penting dalam penciptaan program pemasaran yang sukses. Dari pada memusatkan perhatian manajemen pada alat-alat pemasaran, pandangan ini mensyaratkan bahwa manajemen memahami apa yang akan mengarahkan pada kesuksesan jangka panjang dan peningkatan nilai bagi pemegang saham.

Dalam banya hal, ini adalah gagasan yang masuk akal tentang bagaimana seharusnya organisasi dioperasikan agar perusahaan dapat memuaskan pelanggan mereka sampai pada titik dimana pelanggan akan terus berbisnis dengan mereka di masa depan, membelanjakan banyak uang mereka pada perusahaan tersebut, dan membawa teman-teman dan anggota keluarga untuk berbisnis dengan perusahaan.

Pendekatan pemasaran berbasis hubungan memperluas pandangan kita tentang pemasaran untuk memasukkan pula segala hal yang berpotensi mempengaruhi perasaan pelanggan dalam berbisnis dengan perusahaan tersebut. Menggunakan pendekatan hubungan untuk berbisnis sering memerlukan perubahan penekanan dan budaya dalam banyak perusahaan. Mengelola hubungan pelanggan yang sejati memerlukan strategi jangka panjang dan investasi pada orng-orang dan proses yang akan menciptakan kepuasan pelanggan yang bertahan lama, bukan karena biaya dan haraga yang murah, tetapi karena pelanggan merasa lebih nyaman dalam berurusan dengan perusahaan tersebut.

Membangun hubungan jangka panjang yang kokoh dengan pelanggan memerlukan usaha yang penuh konsentrasi dari semua karyawan dan pihak manajemen untuk mengetahui apa yang memuaskan pelanggan dan apa yang dihargai oleh pelanggan, karena apa yang dihargai oleh pelanggan lebih luas dari apa yang tampaknya disadari oleh banyak manajer. Untuk membangun hubungan sejati, yang dekat, dan berjangka panjang dengan pelanggan membutuhkan lebih sekedar program belanja, lebih dari database yang memungkinkan kita mengirim surat secara teratur dengan target minat pelanggan yang refleksi dari apa yang beli akhir-akhir ini, lebih dari sekedar mengunci pelanggan dengan suatu perjanjian yang membuat mereka tidak punya pilihan selain kembali pada kita. Tak satupun dari pendekatan untuk membangun hubungan pelanggan ini cukup memadai, karena tak satupun menjawab pertanyaan mendasar tentang apa yang merupakan sebuah hubungan dalam pikiran pelanggan, yang hilang adalah kandungan emosi yang biasanya dihubungkan orang dengan sebuah hubungan, dan inilah yang akan kita ungkapkan.

Perkembangan yang terjadi belakangan ini memberikan kesadaran di benak para marketer dan para pengelola perusahaan bahwa loyalitas harus dibangun dengan usaha keras dalam bentuk personalisasi, customize marketing program atau disebut juga dengan one- to-one marketing. Oleh sebab itu, untuk menjamin terjadinya repetition purchase dari pelanggan yang sama, maka dibangun suatu konsep yang menjalin hubungan antar perusahaan dan pelangan secara harmonis, suatu konsep yang dilandasi hubungan yang saling menguntungkan, konsep ini disebut dengan ‘Reletionship Marketing’. Konsep relationship marketing pertamakali dipopulerkan oleh Leonard Barry pada dekade tahun 1980-an.

Andrian Rayne (2001:39) menyatakan bahwa pelanggan merupakan focus utama bagi kegiatan pemasaran, tetapi focus perlu dikurangi pada “ pemasaran transaksional”’ penekanan pada one-of sale atau menjaring pelanggan baru dan penekanan lebih penciptaan hubungan jangka panjang dua pendekatan ini dibedakan sebagai berikut: Pemasaran Transaksional meliputi; (1) focus pada penjualan tunggal, (2) orientasi pada karakteristik produk, (3) skala waktu pendek, (4) sedikit penekanan pada layanan pelanggan, (5) komitmen pelanggan rendah, (6) kontak pelanggan moderat, (7) kualitas terutama merupakan perhatian produksi. Sedangkan Relationship Marketing meliputi; (1) fukos pada customer relation, (2) orientasi pada manfaat produk, (3) skala waktu panjang, (4) penekanan tinggi pada layanan pelanggan, (5) komitmen pelanggan tinggi, (6) kontak pelanggan tinggi, (7) kualitas merupakan perhatian semua orang

Dalam Relationship Marketing, hubungan transaksi antara penyedia jasa dan pelanggan berkelanjutan, tidak berakhir setelah penjualan selesai. Dengan kata lain, suatu kemitraan jangka panjang dengan pelanggan dan secara terus menerus sehingga diharapkan dapat terjadi bisnis ulangan (repeat business).

Membangun hubungan jangka panjang yang kokoh dengan pelanggan memerlukan usaha yang penuh konsentrasi dari semua karyawan dan pihak manajemen untuk mengetahui apa yang memuaskan pelanggan dan apa yang dihargai oleh pelanggan, karena apa yang dihargai oleh pelanggan lebih luas dari apa yang tampaknya disadari oleh banyak manajer Relationship marketing melibatkan penciptaan, pemeliharaan dan peningkatan hubungan yang kuat dengan pelanggan, relationship marketing berorientasi pada jangka waktu yang panjang dan bertujuan untuk memberikan nilai pada pelanggan mengenai produk/jasanya dan ukuran kesuksesannya adalah kepuasan pelanggan pada jangka panjang..(Barnes,2003, Kotler dan Amstrong 1999) Futrell (1996:370) memberikan definisi mengenai relationship marketing sebagai suatu penciptaan loyalitas dan retensi pelanggan.

Pendapat para ahli tersebut mendasarkan bahwa relationship marketing didasarkan pada sebuah ide bahwa pelanggan yang penting memerlukan perhatian secara terus menerus. Organisasi yang menggunakan relationship marketing tidak hanya bertujuan untuk secara sederhana membuat transaksi penjualan. Tujuan yang lebih besarnya adalah menjual pada saat ini dan dimasa yang akan datang.

Pelanggan diberikan produk atau jasa yang berkualitas secara konsisten melalui rantai nilai (value chain) pada setiap kesempatan, sehingga semakin kecil kemungkinannya mereka akan dapat direbut oleh pesaing, apabila para pelanggan merasa bahwa pihak perusahaan telah memahami kebutuhan mereka yang terus berkembang secara konsisten, serta terus melakukan perbaikan (improvement) untuk meningkatkan loyalitas pelanggan (customer loyalty) dengan mengembangkan produk dan jasanya (Kotler, 2006).

Relationship marketing menjadi pembicaraan menarik dikala perusahaan mencoba mengembangkan strategi yang tepat menghadapi konsumen yang memiliki banyak pilihan. Betapa tidak, berbagai konsep yang selama ini digunakan, ternyata ada kurang tepatnya untuk mengatisipasi masalah-masalah yang muncul. Konsep-konsep pemasaran yang berbentuk transaksional ternyata kurang tepat menghadapi situasi persaingan bisnis yang semakin ketat. Dalam situasi demikian. Kemunculan konsep relationship marketing merupakan suatu solusi yang tepat. Konsep relationship marketing menekankan pada proses transaksi yang sedang berlangsung dan memanfaatkannya sebagai dasar untuk hubungan pemasaran yang berkelanjutan di masa depan.


Kamis, 24 Maret 2011

Marketing: Mass Customization & Market Orientation

Marketing: Mass Customization & Market Orientation: "Peran Mass Customization Dan Basic Market Orientation Dalam Meningkatan Kinerja Pemasaran ABSTRAKSI Perkembangan industri semakin meningkat..."

Mass Customization & Market Orientation

Peran Mass Customization Dan Basic Market Orientation
Dalam Meningkatan Kinerja Pemasaran

ABSTRAKSI
Perkembangan industri semakin meningkat ditandai dengan semakin banyak perusahaan
dengan berbagai macam produksinya. Memasarkan suatu produk bukan hanya menjual atau menukarkan barang dengan sesuatu, akan tetapi memasarkan produk sekaligus berusaha memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen, sehingga konsumen merasa puas. Kondisi seperti ini akan menimbulkan persaingan yang ketat diantara perusahaan – perusahaan yang menawarkan produk sejenisnya. Secara konseptual terdapat banyak cara untuk mencapai dan melanggengkan kinerja pemasaran, salah satu diantaranya adalah dengan berorientasi pelanggan dan pesaing agar dapat meningkatkan kinerjanya. Berorientasi terhadap pelanggan dan pesaing adalah salah satu metode yang dapat digunakan apabila perusahaan ingin unggul dalam persaingan. Ada tiga dimensi dalam berorientasi pelanggan dan pesaing, yaitu customization, basic market orientation
dan competitive benchmarking.
Keyword : Mass customization, basic market orientation, kinerja pemasaran.

Pendahuluan
Perkembangan industri semakin meningkat ditandai dengan semakin banyak perusahaan dengan berbagai macam produksinya. Memasarkan suatu produk bukan hanya menjual atau menukarkan barang dengan sesuatu, akan tetapi memasarkan produk sekaligus berusaha memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen, sehingga konsumen merasa puas. Kinerja pemasaran merupakan salah satu aspek dalam menentukan kinerja bisnis. Suatu perusahaan dapat meningkat apabila perusahaan mampu memilih dan mengimplementasikan pendekatan yang tepat. Kinerja pemasaran pada umumnya digunakan untuk mengukur dampak dari strategi perusahaan. Secara teoritis terdapat banyak cara untuk mencapai dan melanggengkan kinerja pemasaran, salah satu diantaranya adalah teori Balakrishnan bahwa dengan berorientasi pelanggan dan pesaing maka suatu perusahaan akan dapat meningkatkan kinerjanya. Berorientasi terhadap pelanggan dan pesaing adalah salah satu metode yang dapat digunakan apabila perusahaan ingin unggul dalam persaingan (Craven, 203; 6). Menurut Balakrishnan (1996 : 257), ada tiga dimensi dalam berorientasi pelanggan dan pesaing, yaitu customization, basic market orientation dan competitive benchmarking.

Customization akan memberikan pelayanan yang lebih relevan terhadap kebutuhan dan keinginan pembeli dalam membedakan penawaran dan pesaing sehingga akan meningkatkan nilai penawaran. Customization merupakan salah satu ciri persaingan. Implikasi dari customization adalah bahwa sistem operasi harus menjadi fleksibel untuk mengendalikan kebutuhan unik pelanggan dan mengubah desainnya (Krajewaski dan Ritzman, 2000). Mass Customization adalah kemampuan untuk menyediakan produk dalam skala massal yang didesain secara individual dan mengkomunikasikan untuk dipertemukan dengan setiap kebutuhan pelanggan (Amstrong dan Kotler, 2002).
Terpenuhinya kebutuhan dan keinginan pelanggan membuat pelanggan akan puas dan kembali bertransaksi dengan perusahaan serta memberikan saran kepada konsumen lain untuk melakukan hal yang sama. “Customer retention akan meningkat pada saat kepuasan konsumen meningkat. Seorang konsumen yang puas akan menjadi loyal dalam waktu yang lama dan melakukan pembelian berulang” (Kotler, 2004).

Pada saat perekonomian nasional lesu akibat adanya dampak krisis moneter, baik perusahaan industri maupun perusahaan perdagangan terus berkembang. Strategi yang dilakukan oleh perusahaan yaitu produk – produk viva kosmetik dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dengan mempertahankan jumlah pelanggan lama serta menambah jumlah pelanggan baru dan penjualan produksinya. Produk viva kosmetik mampu melakukan diversifikasi produk sehingga mampu melahirkan karakteristik produk yang memiliki variety yang tinggi dengan volume yang tinggi serta relevan dengan kebutuhan konsumen berkaitan dengan pendekatan ekonomis dan tepat waktu.


Mass Customization
Menurut Balakrishnan (1996), ada tiga dimensi dalam berorientasi pelanggan dan pesaing, yaitu customization, basic market orientation, dan competitive benchmarking. Jadi customization merupakan salah satu ciri persaingan. Mass customization adalah kemampuan untuk menyediakan produk dalam skala masal yang didesain secara individual dan mengkomunikasikan untuk dipertemukan dengan setiap kebutuhan pelanggan (Kotler dan Amstrong : 2002). Menurut Cravens (1996) dikutip dari buku Strategic Marketing, definisi tentang mass customization adalah kemampuan untuk memproduksi produk yang seragam untuk mencapai penghematan biaya di produksi masal.

Menurut Duray dan Milligan ( 1999 ) dikutip dari jurnal Sukardi, yang mendasari nilai dari keterlibatan pelanggan dalam proses adalah sebagai berikut:
1.Design ( Desain )
2.Fabrication ( Pembuatan )
3.Assembly ( Perakitan atau mesin )
4.Post Production ( Penempatan Produksi )

Menurut Heizer dan Render ( 2001 ) yang dikutip oleh Sukarno bahwa ada 3 ( tiga ) indikator yang merupakan strategi proses dari mass customization yaitu fleksibilitas yang tinggi, volume yang tinggi serta ekonomis dan tepat waktu. Ketiga indicator tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :
a.Fleksibilitas yang tinggi
b.Volume yang tinggi
c.Ekonomis dan tepat waktu

Untuk menjalankan strategi proses mass customization, seorang manajer operasi harus memakai modular maupun teknik penjadwalan. Modular yang dimaksudkan adalah menghasilkan suatu produk atau jasa diperlukan suatu modul tertentu, karena adanya variety yang tinggi dan volume yang tinggi, maka diperlukan pengaturan proses produksi yang didukung oleh modul–modul dan skedul yang rinci dan detail ( Zipkin, 2001 ). Hingga kini belum ada kerangka yang mapan yang dapat membantu para manajer dalam menentukan pendekatan mass customization yang sama yang akan dipakai (Heizer dan Render, 2001). Tingkat interaksi antar pelanggan dipengaruhi oleh karakteristik individualis, baik struktur produk maupun proses customization.

Menurut Kana ( 2001 ) dikutip dari jurnal Sukarno, mass customization bisa mempertinggi tingkat kepuasan karena nilai produk bagi pelanggan menjadi lebih tinggi dan harapan pelanggan terhadap produk relative lebih cepat. Untuk melakukan mass customization perusahaan harus melakukan inovasi terhadap proses utama atau kunci. Selain dukungan teknik modular dan rapid throughput techniques, teknologi informasi juga sangat berpengaruh. Mass customization mampu menghasilkan ledakan variasi produk atau jasa yang dihasilkan perusahaan, namun dengan munculnya kelemahan yaitu kompleksitas pekerjaan, kebingungan karyawan karena banyaknya modul dan variasi produk dan jasa.

Basic Market Orientation
Menurut Balakrishnan ( 1996 ), ada tiga dimensi dlam berorientasi pelanggan dan pesaing, yaitu customization, basic market orientation, dan competitive benchmarking. Jadi basic market orientation merupakan salah satu ciri persaingan.
Ada empat indikator basic market orientation yaitu waktu pengiriman, harga, promosi, dan kebutuhan konsumen ( Balakrishnan : 1996 ). Keempat indikator tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :
a.Waktu pengiriman
b.Harga
c.Kebutuhan Pelanggan
d.Promosi

Basic market orientation merupakan suatu konsep yang menggambarkan aspek apa saja yang diperlukan perusahaan dalam memperbaiki atribut produknya agar diterima di pasar ( Anton : 2004 ).Menurut Narver dan Slater ( 1990 ) market orientation merupakan filosofi bisnis yang dipandang efektif dan efisien untuk menciptakan perilaku yang diperlukan guna menciptakan nilai yang superior bagi pembeli yang akhirnya akan berpengaruh pada kinerja bisnis yang berkelanjutan.

Menurut Augusty Ferdinand ( 2004 ) yang dikutip dari jurnal Ferdinand
memberikan definisi tentang orientasi pasar (market orientation) adalah sebagai sebuah perilaku atau budaya organisasi yang menempatkan konsumen sebagai titik pusat yang menentukan sukses perusahaan. Menurut Kohli dan Jaworski (1990) serta Narver dan Slater ( 1990 ) yang dikutip dari buku Structural Equation Modelling ( SEM ) dalam penelitian manajemen ( 2002 : 147 ), market orientation merupakan fenomena organisasional yang berpotensi untuk meningkatkan kinerja pemasaran.
Kinerja Pemasaran

Menurut Weston. Besley. Bringham ( 1996 ), ukuran kinerja yang sering dipakai selain kepuasan dan kesetiaan pelanggan adalah profitabilitas. Profitabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam kaitannya dengan penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri. Jadi profitabilitas merupakan hasil bersih dari serangkaian kebijakan dan keputusan semakin tinggi profitabilitas semakin baik kinerja.

Menurut Balakrishnan ( 1996 ), faktor–faktor yang mendasari kinerja pemasaran adalah satisfaction with profit, relative profit, repeat business, dan customer retention. Kinerja pemasaran adalah konsep untuk mengukur prestasi perusahaan dalam pasar terhadap suatu produk, setiap perusahaan berkepentingan untuk mengetahui prestasinya sebagai cermin dari keberhasilan uashanya dalam persaingan pasar.
Menurut Tatik ( 2000 ) pertumbuhan penjualan merupakan ukuran kinerja bisnis yang penting karena pertumbuhan penjualan akan terlihat sejauh mana perusahaan mampu mempertahankan konsumen yang ada atau menambah jumlah konsumen yang baru.

Dalam persaingan bisnis yang ketat, perusahaan yang mampu meningkatkan pertumbuhan penjualannya berarti memiliki kinerja yang baik. Menurut Bharadwaj, dkk dikutip dari buku Structural Equation Modelling (SEM) dalam penelitian manajemen ( 2002 : 153 ), kinerja perusahaan merupakan konstruk ( faktor ) yang umum digunakan untuk mengkur dampak sebuahstrategi perusahaan. Strategi perusahaan selalu diarahkan untuk menghasilkan kinerja baik berupa kinerja pemasaran (seperti volume penjualan, market share, tingkat pertumbuhan penjualan) maupun kinerja keuangan (seperti ROI).
Menurut Slater dan Narver ( 1994 ) dikutip dari jurnal Mustofa ( 2004 ), konstruk–konstruk yang digunakan untuk mengukur kinerja pemasaran adalah pertumbuhan pelanggan, pertumbuhan keuntungan, dan Return On Invesment (ROI).

Ada tiga indikator kinerja pemasaran yaitu pertumbuhan penjualan, pertumbuhan pelanggan, dan market share. Ketiga indikator tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :
a.Pertumbuhan penjualan
b.Pertumbuhan pelanggan
c.Market share

Market share sangat diperlukan oleh perusahaan yang bertujuan untuk mengetahui
seberapa luas total pasar yang dapat dikuasai oleh perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA
Cravens, David W, Nigel Piercy, 1996. Strategic Marketing. 4th ed.. New York, McGraw-Hill Irwin.
Ferdinand, Augusty, 2002. Structural Equation Modelling dalam penelitian manajemen, Semarang : BP UNDIP.
___________, 2004, “Orientasi Stratejik dan Kinerja Pemasaran : Sebuah Model
Teoretis”, Jurnal Ventural Volume 7 No.1, April.
Hair, J.F. et. Al, 1998, Multivariate Data Analysis, Fifth Edition, Prentice-Hall
International, Inc., New Jersey.
Herizon dan Kartika Sari, D. D. 2005. “Pengaruh Customization, Basic market orientation, Competitive Benchmarking Terhadap Kinerja Pemasaran Usaka Kecil Menengah Sepatu/Sandal di Wedoro Waru – Sidoarjo”, Jurnal Ventura Vol. 8 No. 2, Desember.
Kotler, Philip dan Amstrong, G. 2002, Principles of Marketing. 8th Edition. New York, Prentice Hall International Inc.
___________, 1998, Manajemen Pemasaran di Indonesia : Analisis, perencanaan, implementasi dan pengendalian. Ed 9, Jakarta : Salemba Empat.
___________, 2000, Manajemen Pemasaran di Indonesia : Analisis, perencanaan, implementasi dan pengendalian. Ed 1 dan 2, di terjemahkan oleh A. B. Susanto, Jakarta : Salemba Empat.
Purwanto, BM, 2003, "Does Gender Moderate the Effect of Role Stress on Salesperson's Internal States and Performance ? An Application of Multigroup Structural Equation Modeling [MSEM]", Jurnal Manajemen, Akuntansi dan Ekonomi Pembangunan, Buletin Ekonomi FE UPN "Veteran" Yogyakarta, 6 [8], 1-20
Sukardi, 2003, “Customer-Centric Marketing With Mass Customization : A Promising Strategy in The Future Marketing Practices”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol 5, No. 2, Juni
Sukarno, Gendut, 2006. “Mass Customisation Dalam Memberikan Kepuasan Pelanggan : Studi Kasus Mie Instan”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol. 8 No. 2, November.
Mustofa, Hari, 2004. “Faktor Pendorong Kreativitas Program Pemasaran dan Kinerja Pemasaran”, Jurnal Sains Pemasaran Indonesia, Vol. III No. 2, September.

Senin, 07 Maret 2011

INTELIJEN PEMASARAN

INTELIJEN PEMASARAN SEBAGAI STRATEGI DALAM KEUNGGULAN BERSAING PERUSAHAAN
Oleh: Dr.Eddi Suprayitno, SE.,MM.


ABSTRAK
Persaingan yang semangkin meningkat seiring dengan berlakunya sistem pasar bebas pada era abad ke 21 ini. Berbagai strategi digunakan perusahaan/organisasi guna memenangkan persaingan. Lingkungan eksternal perusahaan/organisasi merupakan salah faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu perusahaan untuk memenangkan persaingan. Untuk metode untuk mendapatkan informasi dari linkungan eksternal merupakan modal dasar bagi perusahaan untuk menata dan menyiapkan strategi yang digunakan perusahaan untuk mencapai keunggulan bersaing secara berkelanjutan (sustenable competitive advantage). Intelijen Pemasaran merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan perusahaan/organisasi untuk mendapatkan informasi pasar terutama konsumen dan pesaing. Strategi ini memfokuskan pada kebutuhan dan keinginan konsumen serta posisioning pesaing dan strategi yang digunakan pesaing. Perusahaan/organisasi yang mempu mengendalikan pasar (market driven) adalah merupakan perusahaan/organisasi memenangkan persaingan. Untuk itu perusahaan berupaya untuk mendapatkan informasi sebanyak dan secepat mungkin tentang kondisi pasar.

A.PENDAHULUAN
Dalam era globalisasi perusahaan dipaksa untuk siap meningkatkan daya saingnya, termasuk di dalam penentuan harga produk di pasar. Penentuan harga produk merupakan suatu aspek paling penting dalam konsep pemasaran, termasuk di dalam industri manufaktur dan jasa. Dari hasil riset, terungkap bahwa sampai hari ini ada satu strategi yang dipakai secara luas: penentuan harga berbasis estimasi biaya (cost-based pricing). Terdapat dua masalah besar dengan strategi ini, yaitu harga terlalu rendah atau harga terlalu tinggi relatif terhadap standar ”value” dari perusahaan. Akibatnya profit perusahaan menjadi tidak optimal atau malahan gagal sama sekali dalam mendapatkan pelanggan. Kedua hal tersebut sudah tentu dapat membawa perusahaan kepada kebangkrutan.

Untuk mengatasi hal tersebut, diusulkan untuk memakai pendekatan lain, yaitu apa yang dinamakan ”market-based pricing” (MBP). Pendekatan ini mengandalkan informasi pasar secara intensif untuk menentukan kebijakan dan besarnya harga sebuah produk, sehingga perusahaan akan lebih kompetitif sekaligus mendapatkan profit yang optimum. Berbagai Informasi pasar ini didapat melalui suatu fungsi di dalam perusahaan, yaitu apa yang disebut ”intelijen pemasaran” (selanjutnya akan disingkat IP). Dapat dikatakan bahwa jantung pendekatan harga MBP adalah kegiatan IP dari suatu perusahaan. Sistem IP yang telah dikembangkan di dunia manufaktur yang berbasis teknologi informasi di-eksplor, termasuk sistem informasi pemasaran (marketing information system- MIS), sistem dukungan pengambilan keputusan (decision support system- DSS), dan perkembangan dan praktek IP di perusahaan.

B.KONSEP PEMASARAN BARU
Konsep pemasaran yang baru di dunia manufaktur menekankan pentingnya orientasi kepada pasar. Informasi yang akurat mengenai pasar adalah inti dari konsep baru ini. Informasi mengenai klien, pesaing dan lingkungan bisnis, jika dikumpulkan secara kontinyu dan diatur untuk mendukung pengambilan keputusan, akan memungkinkan para manajer bisnis untuk membuat keputusan tidak hanya berdasar intuisi saja tetapi juga realitas pasar yang ada. Hasil akhirnya diharapkan dapat memperbaiki usaha pemasaran, termasuk dalam penentuan harga (Hutt dan Speh, 1989).

Konsep yang baru tersebut menekankan pentingnya orientasi kepada pasar, yang menempatkan prioritas tertinggi untuk mendapatkan nilai semaksimal mungkin untuk pelanggan, sambil juga tetap memperhatikan kepentingan "stakeholders" yang lainnya, dan mendorong berkembangnya budaya suatu organisasi yang mementingkan kepekaan terhadap informasi pasar (Slater dan Narver, 1995). Menurut beberapa ahli, orientasi terhadap pasar didorong dengan dikembangkannya keahlian perusahaan yang terkait, misalnya mencari tahu mengenai pelanggan dan informasi pasar lainnya, mensosialisasikan informasi itu ke seluruh organisasi perusahaan, mencari kesatuan pendapat mengenai arti informasi itu, dan akhirnya membuat aksi nyata untuk menciptakan nilai maksimal untuk pelanggan. Hal penting disini adalah pembedaan antara mencari tahu 'tentang' pelanggan, dan bukan hanya mencari tahu 'dari' pelanggan. Lebih jauh lagi, walaupun untuk selalu menjaga komunikasi dengan pelanggan baik formal maupun informal adalah penting, sebenarnya ada banyak lagi cara-cara lain untuk mempelajari tentang pelanggan dan kebutuhan-kebutuhannya. Misalnya dapat melalui eksperimen pasar yang hasilnya dievaluasi dengan seksama. Dapat juga melalui cara tidak langsung, seperti melalui konsultan, perguruan tinggi, kelompok-kelompok bisnis yang mempunyai pengetahuan yang mendalam mengenai kebutuhan pelanggan yang laten. Selain mengenai pelanggan, informasi pasar yang penting adalah mengenai pesaing-pesaing bisnis, dengan mempelajari strategi, tujuan, kekuatan dan kelemahannya, dan akhirnya memperkirakan pola kebiasaan reaksi-reaksi bisnisnya (Kotler, 1997). Perusahaan harus juga belajar dari pengalaman, dan membuat perbaikan-perbaikan berdasarkan pengalaman tersebut. Suatu studi (Slater dan Narver, 1996) berkesimpulan bahwa kemauan perusahaan untuk belajar mengenai pasar ini akan menyumbangkan secara unik terhadap efektifitas keberhasilan bisnis. Hasil-hasil studi diatas mendukung pentingnya kegiatan IP dalam sebuah perusahaan. Berdasarkan konsep ini muncullah strategi harga berbasis pasar yang sangat berkembang dalam industri manufaktur (Best, 1997).

C.SISTEM INTELIJEN PEMASARAN
Sistem IP adalah suatu prosedur dan sumber yang digunakan oleh manajer untuk mendapatkan informasi setiap harinya tentang perkembangan berkelanjutan dari pasar. Jadi sistem ini memberikan data/informasi apa yang terjadi pada pasar (Kotler, 1997). Tujuannya yang mendasar adalah untuk membantu para manajer pemasaran membuat keputusan yang mereka hadapi setiap hari dalam berbagai area tugasnya, termasuk memutuskan besarnya harga. Sebagai pemimpin di perusahaannya, para manajer pemasaran mempunyai kebutuhan yang tinggi mengenai informasi pasar, seperti perubahan cara membeli kliennya, perubahan kebutuhan jasa/produknya, dan lain-lain (Churchill, 1995). Selanjutnya akan dibahas beberapa teknik IP berbasis teknologi informasi.

Dua teknik IP berbasis teknologi informasi yang terus meningkat kepopulerannya adalah marketing information systems (MISs) and decision support systems (DSSs). MISs and DSSs bukanlah saling bersaing, melainkan bersifat komplementer. Menurut beberapa ahli, MIS adalah satu set prosedur dan metoda untuk secara reguler mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan informasi untuk keperluan membuat keputusan pemasaran. Kata kuncinya adalah "reguler", karena penekanan pada MIS adalah sistem pengumpulan informasi yang diperlukan dalam pengambilan keputusan yang berulang. Dalam merancang MIS, yang diperlukan adalah analisis yang rinci bagaimana cara dan gaya seorang manajer dalam mengambil keputusannya. Tidak saja jenis informasinya, tetapi juga bagaimana informasi itu harus disajikan kepada manajer tersebut. Kemudian perancang MIS merumuskan dan membuat berbagai bentuk penyajian informasi kepada para pengambil keputusan (McLeod dan Rogers, 1985). Biasanya bank datanya terpisah untuk data umum penjualan, data pasar, data produk, data agen penjualan, dan data klien. Hanya setelah langkah-langkah perumusan ini selesai, baru sistem itu dapat dibangun, yang intinya merupakan pemrograman komputer yang seefisien mungkin dalam hal memori dan kecepatan prosesnya. Jika sudah benar, maka program dihubungkan dalam suatu jaringan komputer perusahaan, sehingga para manajer dapat mengakses data dengan cepat dalam bentuk yang disukainya. Pada awal-awal dari MIS ini, permintaan itu dipusatkan pada bagian pusat informasi atau pusat pengolahan data suatu perusahaan. Kini, para manajer dapat mengaksesnya lewat terminal komputer dimeja masing-masing.

Tetapi, ada beberapa masalah dengan MIS ini. Problem pertama adalah banyak pengambil keputusan yang enggan untuk memberitahukan faktor apa yang mereka gunakan dan bagaimana mereka mengkombinasikan faktor-faktor itu waktu mereka membuat keputusan. Akibatnya, tidaklah mungkin untuk mendisain bentuk laporan data/informasi dalam bentuk yang mereka sukai. Bahkan, terkadang jikapun caranya sudah diketahui, sering pemrogram masih kesulitan mendisain sistemnya karena cukup kompleks dan rumit. Problem kedua adalah bahwa setiap manajer biasanya mengutamakan hal-hal berbeda, dan akibatnya membutuhkan data yang berbeda, sehingga format laporan yang optimal untuk beberapa pemakai MIS dalam suatu perusahaan sangatlah sulit dibangun. Terpaksa ada kompromi dalam bentuknya, sehingga tidak optimal untuk semua pemakainya, atau pemrogram MIS harus membuat disain yang sangat rumit dan lama untuk memuaskan semua pemakai. Problem ketiga adalah karena seringkali problem sehari-hari adalah problem yang sangat sulit di programkan dalam MIS, akibat banyaknya rantai alternatif dalam proses pengambilan keputusan. Hasilnya, banyak aktifitas yang dilakukan oleh manajer mustahil untuk diprogramkan dalam komputer (Churchill, 1995).

Dengan adanya problem-problem dengan MIS tersebut, kegiatan IP yang rutin ditekankan kepada sistem yang lebih fleksibel, yaitu apa yang disebut "Decision Support Systems" (DSS). DSS adalah sistem, alat, dan teknik pengumpulan data yang terkoordinasi dengan bantuan perangkat lunak dan perangkat keras komputer dimana perusahaan mengumpulkan dan menginterpretasikan informasi yang relevan dari lingkungan bisnisnya dan menjadi dasar untuk keputusan kegiatan-kegiatan perusahaan termasuk kegiatan pemasaran. DSS terdiri atas "data systems", "model systems", dan "dialog systems" yang dapat berinteraktif dengan para manajer pemakai DSS. "Data systems" adalah proses dan metoda untuk mendapatkan dan menyimpan data dari bagian pemasaran, keuangan, produksi dan juga sumber-sumber lain baik internal maupun eksternal. Biasanya sistem ini mempunyai modul-modul yang mempunyai informasi mengenai pelanggan, keadaan ekonomi secara umum, perusahaan saingan, dan industri spesifik terkait, termasuk tren dari pasar. Dapat juga termasuk data mengenai bagaimana faktor-faktor penting saling berkaitan dengan keputusan klien untuk membeli suatu produk, besarnya harga yang dibayar dan sebagainya. Sumber informasi bisa dari hasil riset pemasaran atau dapat pula membeli dari agen khusus. Satu perkembangan penting dari DSS adalah terjadinya 'peledakan' dari database informasi pada tahun-tahun terakhir ini. Saat ini ada ratusan ribu database yang dapat diakses melalui komputer.

"Model System" memungkinkan pemakai mangadakan pengolahan data untuk analisa data sesuai kebutuhan pemakai itu sendiri. Kapan saja seorang manajer melihat suatu data, mereka akan mempunyai pemikiran sendiri bagaimana dan apa yang menarik dari data tersebut. Manajer tersebut biasanya akan mengolah data untuk dapat mengerti lebih baik data yang berhubungan dengan tanggung jawabnya, termasuk masalah harga produk. Pengolahan data ini termasuk menjumlahkan suatu kelompok data, dan analisa statistik yang sederhana sampai yang kompleks, misalnya strategi optimasi dengan pendekatan non-linear program dan sebagainya. Operasi yang paling sering dipakai adalah memisahkan data dalam kelompok-kelompok, mengelompokkan lebih jauh lagi dalam grup-grup, menghitung rasio, merangking, memisahkan untuk kasus-kasus khusus, memplot grafik, dan membuat tabel. Dalam menjawab meledaknya jumlah informasi akhir-akhir ini, beberapa perusahaan telah mengembangkan "expert systems" yang mencoba mengembangkan model-model bagaimana seorang ahli (expert) memproses dan mengolah informasi untuk memecahkan problem yang dihadapi.

"Dialog Systems", biasa disebut juga "language systems", adalah perkembangan DSS yang paling penting yang juga sangat membedakan antara DSS dan MIS. Sistem ini memungkinkan manajer yang tidak mengerti masalah program komputer dapat dengan mudah meng-eksplor database, dan membuat suatu report yang sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing. Hal ini memungkinkan mereka mandapatkan informasi yang benar-benar mereka butuhkan. Dengan sistem ini, manajer dapat bertanya, kemudian bedasarkan jawaban DSS dapat bertanya lagi, terus menerus sampai mendapatkan informasi spesifik yang diperlukan. Menjawab peledakan database "on-line" yang dapat diakses, perusahaan besar menggunakan jaringan komputer yang saling terhubung satu sama lain. Sehingga manajer dapat memasukkan data, menarik data (termasuk dari database yang "on-line"), melakukan analisa-analisa, memplot, melakukan analisa statistik, bahkan dapat menyiapkan suatu report, dengan hanya menggunakan perintah dan prosedur yang sederhana di meja masing-masing. Jadi DSS menekankan pada fleksibilitas dan kemampuan adaptasi yang tinggi. DSS dapat mengakomodir berbagai cara yang berbeda dari manajer dalam mengolah data dan mengambil keputusan, serta perubahan kondisi eksternal perusahaan (Churchill, 1995).

Peran DSS menjadi semakin menguat dalam kegiatan IP karena semakin banyaknya program komputer yang dapat menolong manajer dalam menganalisa, merencanakan dan mengontrol tindakan mereka. Sebagai contoh Marketing News edisi April 1994 memuat daftar lebih dari 100 program komputer mengenai pemasaran yang dapat membantu perancangan studi dan riset pemasaran, membuat segmentasi pasar, membuat keputusan mengenai harga jasa/produk dan anggaran promosi, perencanaan kegiatan tenaga penjualan dan lain-lain (Kotler, 1997). Lebih jauh lagi, dengan semakin berkembangnya teknologi "neural network", para profesional dibidang pemasaran dan penjualan dapat mengakses pengetahuan dari para ahli dengan beberapa sentuhan keyboard komputer mereka. Diyakini secara luas, bahwa pemanfaatan "expert systems" dalam DSS akan menjadi kekuatan utama dalam pemasaran, termasuk dalam keputusan harga secara lebih efisien. Perangkat lunak "neural network", yang dirancang mengikuti pola kerja otak manusia, benar-benar dapat 'belajar' dari data-data yang diberikan. Hebatnya expert systems mutakhir tidak memerlukan komputer yang kemampuan dan harganya istimewa. Dalam lima tahun terakhir, neural network dan teknologi lainnya dari "artificial intelligence" dapat diadaptasikan dengan "personal computer" (Kotler, 1997). Dengan bantuan dari kegiatan IP, para manajer dapat memutuskan strategi harga yang paling tepat sehingga produk/jasa mereka dapat lebih bersaing dengan tidak membiarkan begitu saja kesempatan untuk meraih keuntungan yang maksimal.

D.KESIMPULAN
Meningkatnya persaingan pada era globalisasi pasar mendorong setiap bisnis untuk mempu lebih unggul dibanding para pesaingnya. Upaya yang dilakukan oleh perusahaan/organisasi dalam menciptakan keunggulan bersaing yang berkelanjutan (sustanable competitive advantage) dengan melaksanakan stratejik intelijen pasar (market inteligent strategic). Stratejik intelijen pasar merupakan stratejek yang dilakukan perusahaan/organisasi untuk mendapatkan informasi tentang kondisi pasar yaitu; keinginan dan kebutuhan konsumen, kondisi dan perkembangan para pesaing, perantara/distributor, pemasok/suplayer serta sistem koordinasi di internal perusahaan dalam menghadapi persaingan dan pelayanan terhadap konsumen.

Informasi merupakan salah satu faktor penentu untuk terciptanya keunggulan bagi suatu perusahaan. Bill Gate menyatakan bahwa barangsiapa mempu mendapatkan informasi sebanyak dan secepat mungkin maka dia akan mengusai dunia. Strategi intelijen pemasaran merupakan suatu cara/metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi pasar dan pesaing dalam upaya memenangkan persaingan di pasar global.

Daftar Pustaka
Best, R.J. “Market-Based Management Strategies for growing customer Value and Profitability.” Prentice Hall, New Jersey, 1997.
Churchill Jr., G.A. “Marketing Research Methodological Foundations.” The Dryden Press, Sixth Edition, Firth Worth, 1995.
Hutt, M.D. and Speh T.W. “Instructor’s edition Business Marketing Management A Strategic View of Industrial and Organizational Markets.” Third Edition, The Dryden Press, Chicago, 1989.
Kotler, P. “Marketing Management Analysis, Planning, Implementation, and Control.” 9th edition, Prentice Hall, New Jersey, 1997.
McLeod, Jr., R., Rogers, J.C. “Marketing Information Systems: Their Current Status in Fortune 1000 Companies.” Journal of Management Information Systems, 1 (Spring), 1985, pp.57-75.
Safford, Jr., A.T. “Developing a System of Competitive Intelligence.” AMA Management Report Pricing: The Critical Decision, Marketing Division American Management Association, Inc, No. 66, New York, 1961.
Slater, S,F., Naver, J. “Market Orientation and Learning Organization.” Journal of Marketing, 59(July), 1995, pp. 63-74.

Rabu, 02 Maret 2011

INTELIJEN PEMASARAN

INTELIJEN PEMASARAN SEBAGAI STRATEGI DALAM KEUNGGULAN BERSAING PERUSAHAAN
Oleh: Dr.Eddi Suprayitno, SE.,MM.


ABSTRAK
Persaingan yang semangkin meningkat seiring dengan berlakunya sistem pasar bebas pada era abad ke 21 ini. Berbagai strategi digunakan perusahaan/organisasi guna memenangkan persaingan. Lingkungan eksternal perusahaan/organisasi merupakan salah faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu perusahaan untuk memenangkan persaingan. Untuk metode untuk mendapatkan informasi dari linkungan eksternal merupakan modal dasar bagi perusahaan untuk menata dan menyiapkan strategi yang digunakan perusahaan untuk mencapai keunggulan bersaing secara berkelanjutan (sustenable competitive advantage). Intelijen Pemasaran merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan perusahaan/organisasi untuk mendapatkan informasi pasar terutama konsumen dan pesaing. Strategi ini memfokuskan pada kebutuhan dan keinginan konsumen serta posisioning pesaing dan strategi yang digunakan pesaing. Perusahaan/organisasi yang mempu mengendalikan pasar (market driven) adalah merupakan perusahaan/organisasi memenangkan persaingan. Untuk itu perusahaan berupaya untuk mendapatkan informasi sebanyak dan secepat mungkin tentang kondisi pasar.

A. PENDAHULUAN
Dalam era globalisasi perusahaan dipaksa untuk siap meningkatkan daya saingnya, termasuk di dalam penentuan harga produk di pasar. Penentuan harga produk merupakan suatu aspek paling penting dalam konsep pemasaran, termasuk di dalam industri manufaktur dan jasa. Dari hasil riset, terungkap bahwa sampai hari ini ada satu strategi yang dipakai secara luas: penentuan harga berbasis estimasi biaya (cost-based pricing). Terdapat dua masalah besar dengan strategi ini, yaitu harga terlalu rendah atau harga terlalu tinggi relatif terhadap standar ”value” dari perusahaan. Akibatnya profit perusahaan menjadi tidak optimal atau malahan gagal sama sekali dalam mendapatkan pelanggan. Kedua hal tersebut sudah tentu dapat membawa perusahaan kepada kebangkrutan.

Untuk mengatasi hal tersebut, diusulkan untuk memakai pendekatan lain, yaitu apa yang dinamakan ”market-based pricing” (MBP). Pendekatan ini mengandalkan informasi pasar secara intensif untuk menentukan kebijakan dan besarnya harga sebuah produk, sehingga perusahaan akan lebih kompetitif sekaligus mendapatkan profit yang optimum. Berbagai Informasi pasar ini didapat melalui suatu fungsi di dalam perusahaan, yaitu apa yang disebut ”intelijen pemasaran” (selanjutnya akan disingkat IP). Dapat dikatakan bahwa jantung pendekatan harga MBP adalah kegiatan IP dari suatu perusahaan. Sistem IP yang telah dikembangkan di dunia manufaktur yang berbasis teknologi informasi di-eksplor, termasuk sistem informasi pemasaran (marketing information system- MIS), sistem dukungan pengambilan keputusan (decision support system- DSS), dan perkembangan dan praktek IP di perusahaan.

B. KONSEP PEMASARAN BARU
Konsep pemasaran yang baru di dunia manufaktur menekankan pentingnya orientasi kepada pasar. Informasi yang akurat mengenai pasar adalah inti dari konsep baru ini. Informasi mengenai klien, pesaing dan lingkungan bisnis, jika dikumpulkan secara kontinyu dan diatur untuk mendukung pengambilan keputusan, akan memungkinkan para manajer bisnis untuk membuat keputusan tidak hanya berdasar intuisi saja tetapi juga realitas pasar yang ada. Hasil akhirnya diharapkan dapat memperbaiki usaha pemasaran, termasuk dalam penentuan harga (Hutt dan Speh, 1989).

Konsep yang baru tersebut menekankan pentingnya orientasi kepada pasar, yang menempatkan prioritas tertinggi untuk mendapatkan nilai semaksimal mungkin untuk pelanggan, sambil juga tetap memperhatikan kepentingan "stakeholders" yang lainnya, dan mendorong berkembangnya budaya suatu organisasi yang mementingkan kepekaan terhadap informasi pasar (Slater dan Narver, 1995). Menurut beberapa ahli, orientasi terhadap pasar didorong dengan dikembangkannya keahlian perusahaan yang terkait, misalnya mencari tahu mengenai pelanggan dan informasi pasar lainnya, mensosialisasikan informasi itu ke seluruh organisasi perusahaan, mencari kesatuan pendapat mengenai arti informasi itu, dan akhirnya membuat aksi nyata untuk menciptakan nilai maksimal untuk pelanggan. Hal penting disini adalah pembedaan antara mencari tahu 'tentang' pelanggan, dan bukan hanya mencari tahu 'dari' pelanggan. Lebih jauh lagi, walaupun untuk selalu menjaga komunikasi dengan pelanggan baik formal maupun informal adalah penting, sebenarnya ada banyak lagi cara-cara lain untuk mempelajari tentang pelanggan dan kebutuhan-kebutuhannya. Misalnya dapat melalui eksperimen pasar yang hasilnya dievaluasi dengan seksama. Dapat juga melalui cara tidak langsung, seperti melalui konsultan, perguruan tinggi, kelompok-kelompok bisnis yang mempunyai pengetahuan yang mendalam mengenai kebutuhan pelanggan yang laten. Selain mengenai pelanggan, informasi pasar yang penting adalah mengenai pesaing-pesaing bisnis, dengan mempelajari strategi, tujuan, kekuatan dan kelemahannya, dan akhirnya memperkirakan pola kebiasaan reaksi-reaksi bisnisnya (Kotler, 1997).

Perusahaan harus juga belajar dari pengalaman, dan membuat perbaikan-perbaikan berdasarkan pengalaman tersebut. Suatu studi (Slater dan Narver, 1996) berkesimpulan bahwa kemauan perusahaan untuk belajar mengenai pasar ini akan menyumbangkan secara unik terhadap efektifitas keberhasilan bisnis. Hasil-hasil studi diatas mendukung pentingnya kegiatan IP dalam sebuah perusahaan. Berdasarkan konsep ini muncullah strategi harga berbasis pasar yang sangat berkembang dalam industri manufaktur (Best, 1997).

C. SISTEM INTELIJEN PEMASARAN
Sistem IP adalah suatu prosedur dan sumber yang digunakan oleh manajer untuk mendapatkan informasi setiap harinya tentang perkembangan berkelanjutan dari pasar. Jadi sistem ini memberikan data/informasi apa yang terjadi pada pasar (Kotler, 1997). Tujuannya yang mendasar adalah untuk membantu para manajer pemasaran membuat keputusan yang mereka hadapi setiap hari dalam berbagai area tugasnya, termasuk memutuskan besarnya harga. Sebagai pemimpin di perusahaannya, para manajer pemasaran mempunyai kebutuhan yang tinggi mengenai informasi pasar, seperti perubahan cara membeli kliennya, perubahan kebutuhan jasa/produknya, dan lain-lain (Churchill, 1995). Selanjutnya akan dibahas beberapa teknik IP berbasis teknologi informasi.

Dua teknik IP berbasis teknologi informasi yang terus meningkat kepopulerannya adalah marketing information systems (MISs) and decision support systems (DSSs). MISs and DSSs bukanlah saling bersaing, melainkan bersifat komplementer. Menurut beberapa ahli, MIS adalah satu set prosedur dan metoda untuk secara reguler mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan informasi untuk keperluan membuat keputusan pemasaran. Kata kuncinya adalah "reguler", karena penekanan pada MIS adalah sistem pengumpulan informasi yang diperlukan dalam pengambilan keputusan yang berulang. Dalam merancang MIS, yang diperlukan adalah analisis yang rinci bagaimana cara dan gaya seorang manajer dalam mengambil keputusannya. Tidak saja jenis informasinya, tetapi juga bagaimana informasi itu harus disajikan kepada manajer tersebut. Kemudian perancang MIS merumuskan dan membuat berbagai bentuk penyajian informasi kepada para pengambil keputusan (McLeod dan Rogers, 1985). Biasanya bank datanya terpisah untuk data umum penjualan, data pasar, data produk, data agen penjualan, dan data klien. Hanya setelah langkah-langkah perumusan ini selesai, baru sistem itu dapat dibangun, yang intinya merupakan pemrograman komputer yang seefisien mungkin dalam hal memori dan kecepatan prosesnya. Jika sudah benar, maka program dihubungkan dalam suatu jaringan komputer perusahaan, sehingga para manajer dapat mengakses data dengan cepat dalam bentuk yang disukainya. Pada awal-awal dari MIS ini, permintaan itu dipusatkan pada bagian pusat informasi atau pusat pengolahan data suatu perusahaan.

Kini, para manajer dapat mengaksesnya lewat terminal komputer dimeja masing-masing. Tetapi, ada beberapa masalah dengan MIS ini. Problem pertama adalah banyak pengambil keputusan yang enggan untuk memberitahukan faktor apa yang mereka gunakan dan bagaimana mereka mengkombinasikan faktor-faktor itu waktu mereka membuat keputusan. Akibatnya, tidaklah mungkin untuk mendisain bentuk laporan data/informasi dalam bentuk yang mereka sukai. Bahkan, terkadang jikapun caranya sudah diketahui, sering pemrogram masih kesulitan mendisain sistemnya karena cukup kompleks dan rumit. Problem kedua adalah bahwa setiap manajer biasanya mengutamakan hal-hal berbeda, dan akibatnya membutuhkan data yang berbeda, sehingga format laporan yang optimal untuk beberapa pemakai MIS dalam suatu perusahaan sangatlah sulit dibangun. Terpaksa ada kompromi dalam bentuknya, sehingga tidak optimal untuk semua pemakainya, atau pemrogram MIS harus membuat disain yang sangat rumit dan lama untuk memuaskan semua pemakai. Problem ketiga adalah karena seringkali problem sehari-hari adalah problem yang sangat sulit di programkan dalam MIS, akibat banyaknya rantai alternatif dalam proses pengambilan keputusan. Hasilnya, banyak aktifitas yang dilakukan oleh manajer mustahil untuk diprogramkan dalam komputer (Churchill, 1995).

Dengan adanya problem-problem dengan MIS tersebut, kegiatan IP yang rutin ditekankan kepada sistem yang lebih fleksibel, yaitu apa yang disebut "Decision Support Systems" (DSS). DSS adalah sistem, alat, dan teknik pengumpulan data yang terkoordinasi dengan bantuan perangkat lunak dan perangkat keras komputer dimana perusahaan mengumpulkan dan menginterpretasikan informasi yang relevan dari lingkungan bisnisnya dan menjadi dasar untuk keputusan kegiatan-kegiatan perusahaan termasuk kegiatan pemasaran. DSS terdiri atas "data systems", "model systems", dan "dialog systems" yang dapat berinteraktif dengan para manajer pemakai DSS. "Data systems" adalah proses dan metoda untuk mendapatkan dan menyimpan data dari bagian pemasaran, keuangan, produksi dan juga sumber-sumber lain baik internal maupun eksternal. Biasanya sistem ini mempunyai modul-modul yang mempunyai informasi mengenai pelanggan, keadaan ekonomi secara umum, perusahaan saingan, dan industri spesifik terkait, termasuk tren dari pasar. Dapat juga termasuk data mengenai bagaimana faktor-faktor penting saling berkaitan dengan keputusan klien untuk membeli suatu produk, besarnya harga yang dibayar dan sebagainya. Sumber informasi bisa dari hasil riset pemasaran atau dapat pula membeli dari agen khusus. Satu perkembangan penting dari DSS adalah terjadinya 'peledakan' dari database informasi pada tahun-tahun terakhir ini. Saat ini ada ratusan ribu database yang dapat diakses melalui komputer.

"Model System" memungkinkan pemakai mangadakan pengolahan data untuk analisa data sesuai kebutuhan pemakai itu sendiri. Kapan saja seorang manajer melihat suatu data, mereka akan mempunyai pemikiran sendiri bagaimana dan apa yang menarik dari data tersebut. Manajer tersebut biasanya akan mengolah data untuk dapat mengerti lebih baik data yang berhubungan dengan tanggung jawabnya, termasuk masalah harga produk. Pengolahan data ini termasuk menjumlahkan suatu kelompok data, dan analisa statistik yang sederhana sampai yang kompleks, misalnya strategi optimasi dengan pendekatan non-linear program dan sebagainya. Operasi yang paling sering dipakai adalah memisahkan data dalam kelompok-kelompok, mengelompokkan lebih jauh lagi dalam grup-grup, menghitung rasio, merangking, memisahkan untuk kasus-kasus khusus, memplot grafik, dan membuat tabel. Dalam menjawab meledaknya jumlah informasi akhir-akhir ini, beberapa perusahaan telah mengembangkan "expert systems" yang mencoba mengembangkan model-model bagaimana seorang ahli (expert) memproses dan mengolah informasi untuk memecahkan problem yang dihadapi.

"Dialog Systems", biasa disebut juga "language systems", adalah perkembangan DSS yang paling penting yang juga sangat membedakan antara DSS dan MIS. Sistem ini memungkinkan manajer yang tidak mengerti masalah program komputer dapat dengan mudah meng-eksplor database, dan membuat suatu report yang sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing. Hal ini memungkinkan mereka mandapatkan informasi yang benar-benar mereka butuhkan. Dengan sistem ini, manajer dapat bertanya, kemudian bedasarkan jawaban DSS dapat bertanya lagi, terus menerus sampai mendapatkan informasi spesifik yang diperlukan. Menjawab peledakan database "on-line" yang dapat diakses, perusahaan besar menggunakan jaringan komputer yang saling terhubung satu sama lain. Sehingga manajer dapat memasukkan data, menarik data (termasuk dari database yang "on-line"), melakukan analisa-analisa, memplot, melakukan analisa statistik, bahkan dapat menyiapkan suatu report, dengan hanya menggunakan perintah dan prosedur yang sederhana di meja masing-masing. Jadi DSS menekankan pada fleksibilitas dan kemampuan adaptasi yang tinggi. DSS dapat mengakomodir berbagai cara yang berbeda dari manajer dalam mengolah data dan mengambil keputusan, serta perubahan kondisi eksternal perusahaan (Churchill, 1995).

Peran DSS menjadi semakin menguat dalam kegiatan IP karena semakin banyaknya program komputer yang dapat menolong manajer dalam menganalisa, merencanakan dan mengontrol tindakan mereka. Sebagai contoh Marketing News edisi April 1994 memuat daftar lebih dari 100 program komputer mengenai pemasaran yang dapat membantu perancangan studi dan riset pemasaran, membuat segmentasi pasar, membuat keputusan mengenai harga jasa/produk dan anggaran promosi, perencanaan kegiatan tenaga penjualan dan lain-lain (Kotler, 1997). Lebih jauh lagi, dengan semakin berkembangnya teknologi "neural network", para profesional dibidang pemasaran dan penjualan dapat mengakses pengetahuan dari para ahli dengan beberapa sentuhan keyboard komputer mereka. Diyakini secara luas, bahwa pemanfaatan "expert systems" dalam DSS akan menjadi kekuatan utama dalam pemasaran, termasuk dalam keputusan harga secara lebih efisien. Perangkat lunak "neural network", yang dirancang mengikuti pola kerja otak manusia, benar-benar dapat 'belajar' dari data-data yang diberikan. Hebatnya expert systems mutakhir tidak memerlukan komputer yang kemampuan dan harganya istimewa. Dalam lima tahun terakhir, neural network dan teknologi lainnya dari "artificial intelligence" dapat diadaptasikan dengan "personal computer" (Kotler, 1997). Dengan bantuan dari kegiatan IP, para manajer dapat memutuskan strategi harga yang paling tepat sehingga produk/jasa mereka dapat lebih bersaing dengan tidak membiarkan begitu saja kesempatan untuk meraih keuntungan yang maksimal.

D. KESIMPULAN
Meningkatnya persaingan pada era globalisasi pasar mendorong setiap bisnis untuk mempu lebih unggul dibanding para pesaingnya. Upaya yang dilakukan oleh perusahaan/organisasi dalam menciptakan keunggulan bersaing yang berkelanjutan (sustanable competitive advantage) dengan melaksanakan stratejik intelijen pasar (market inteligent strategic). Stratejik intelijen pasar merupakan stratejek yang dilakukan perusahaan/organisasi untuk mendapatkan informasi tentang kondisi pasar yaitu; keinginan dan kebutuhan konsumen, kondisi dan perkembangan para pesaing, perantara/distributor, pemasok/suplayer serta sistem koordinasi di internal perusahaan dalam menghadapi persaingan dan pelayanan terhadap konsumen.

Informasi merupakan salah satu faktor penentu untuk terciptanya keunggulan bagi suatu perusahaan. Bill Gate menyatakan bahwa barangsiapa mempu mendapatkan informasi sebanyak dan secepat mungkin maka dia akan mengusai dunia. Strategi intelijen pemasaran merupakan suatu cara/metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi pasar dan pesaing dalam upaya memenangkan persaingan di pasar global.

Daftar Pustaka
Best, R.J. “Market-Based Management Strategies for growing customer Value and Profitability.” Prentice Hall, New Jersey, 1997.
Churchill Jr., G.A. “Marketing Research Methodological Foundations.” The Dryden Press, Sixth Edition, Firth Worth, 1995.
Hutt, M.D. and Speh T.W. “Instructor’s edition Business Marketing Management A Strategic View of Industrial and Organizational Markets.” Third Edition, The Dryden Press, Chicago, 1989.
Kotler, P. “Marketing Management Analysis, Planning, Implementation, and Control.” 9th edition, Prentice Hall, New Jersey, 1997.
McLeod, Jr., R., Rogers, J.C. “Marketing Information Systems: Their Current Status in Fortune 1000 Companies.” Journal of Management Information Systems, 1 (Spring), 1985, pp.57-75.
Safford, Jr., A.T. “Developing a System of Competitive Intelligence.” AMA Management Report Pricing: The Critical Decision, Marketing Division American Management Association, Inc, No. 66, New York, 1961.
Slater, S,F., Naver, J. “Market Orientation and Learning Organization.” Journal of Marketing, 59(July), 1995, pp. 63-74.